Para pengawal mengepungku, aku tak peduli. Kulihat mereka agak ketakutan. Aku semakin yakin dengan bacaan ayat-ayat Alquran yang kulafazkan. Aku sampai di tengah beringin kurung. Di depanku dengan wajah marah menakutkan Ki Tenoyo menghadang.
Ki Tenoyo yang sebelumnya begitu hormat, tiba-tiba beringas dan wajahnya berubah mengerikan. Wajah tua yang teduh, mata penuh welas asih kini menyorot merah tajam, mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan wajahnya menghitam bersisik mengilap, lidah menjulur bercabang dua.Â
Ki Tenoyo berubah menjadi ular hitam besar bertanduk perak. Desis kerasnya memanggil ular-ular lain mengelilingiku. Mereka berusaha untuk mematukku. Kuputar-putar tas ranselku mengusir mereka. Begitu menakutkan! Ekor ki Tenoyo menyabet punggungku. Aku tersungkur.
"Aaaa," jeritku. Kumpulan ular di depanku menyibak menghindar. Tubuhku terempas di jalanan keras berbatu. Aku meringkuk kesakitan dan ketakutan. Kembali aku melafazkan zikir yang sempat terjeda sebentar.
Tepat ketika aku mengangkat kepala, ki Tenoyo meluncur ke arahku. Mulutnya menganga siap menerkam. Seketika kupejam mata dan kututup wajah dengan kedua tanganku.Â
"Ya Allah lindungi aku!" jeritku lirih. Aku menangis terisak. Aku laki-laki yang menangis layaknya bocah tantrum kehilangan permen yang direbut anak nakal.Â
Ular Tenoyo membelit erat tubuhku. Bibir ini bergetar menyebut-nyebut nama tuhan dengan pasrah. Aku benar-benar pasrah kepada tuhan penggenggam nyawa. Napasku mulai tersengal.
Tetiba terdengar ledakan keras. Belitan di tubuhku mengendur lalu lepas. Disusul ledakan-ledakan lebih kecil beruntun. Aku menggulung tubuh meringkuk gemetar sambil membenamkan kepala di kedua lutut. Kedua telinga kututup dengan telapak tanganku.
Hening, sunyi, tanpa suara. Angin pun seolah enggan berlalu. Sebuah elusan lembut terasa di kepalaku. Aku mengintip. Seraut wajah ayu begitu dekat di wajahku. Aroma harum lamat-lamat terhidu olehku. Kubuka kedua mataku. Senyuman lembut menenangkan, memberiku kekuatan.
"Bangunlah! Semua sudah berlalu," katanya halus, lembut dan merdu di telinga.
Perlahan aku bangun. Baru saja aku mau bertanya, jari telunjuk nan lentik menutup bibirnya mengisyaratkan untuk diam.