"Apa temennya tadi yang ketinggalan lift?" Keempat teman Meili mengangguk dengan antusias. Secercah harapan tumbuh di hati mereka.
"Tidak lama setelah pintu lift menutup, pintu lift sebelahnya terbuka. Dia naik sendirian. Kebetulan tadi saya mau naik, tapi nggak jadi."
"Harusnya dia sudah sampai, dong. Nyatanya belum," sahut Nadira khawatir.Â
Keempat gadis itu pun bingung dan cemas, wajah mereka memucat ketakutan. Begitu juga petugas hotel.
"Aduh gimana ini? Ini pertama kali Meili pergi sendiri," keluh Sandra. Yang lain bungkam.
Manajer hotel datang setelah mendapat laporan dari petugas resepsionis. Malam itu mereka berpencar mencari. Teman-teman Meili mulai menangis. Mereka menyesal telah membujuknya ikut ke Bali. Sementara Meili masih berjuang di dalam peti.
***
"Gila panasnya ... panas dan pengap, mana gelap lagi!" keluhku.Â
Percuma saja menggerutu, marah atau pun menangis, aku nggak bisa keluar dari sini. Tapi masih ada setitik harapan di hatiku. Moyangku tak akan tinggal diam.Â
Tiba-tiba kurasakan guncangan hebat. Peti berputar kesana-kemari dan terbalik lalu melambung, seperti rollercoaster. Kepalaku pusing, tubuhku kadang tengkurap dan kembali terlentang setelah sebelumnya berputar vertikal, seperti bola yang sedang ditendang-tendang pemainnya. Daaan ...
Bruaak ... peti hancur berkeping. Angin kencang bertiup di sekitar tubuh lemasku. Aku tak bisa lagi berpikir, otakku terasa kosong. Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing yang meremas kepalaku. Kurasakan tubuhku seperti didorong oleh sesuatu, tepat ketika pusaran angin kencang mereda, lalu dilempar menimpa dinding. Aku jatuh tergolek di lantai.Â