Manusia memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi terhadap sesama, salah satunya lewat tulisan. Berawal dari ungkapan simbolik, berkembanglah aksara yang kemudian disepakati dan dipahami oleh sekelompok masyarakat sebagai sarana berkomunikasi, menyampaikan gagasan atau pesan, hingga menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Aksara-aksara awal di Nusantara dituliskan pada berbagai media, baik media keras maupun media lunak. Sayangnya aksara-aksara awal itu kini sudah ditinggalkan dan tidak lagi digunakan. Namun berbagai jenis aksara itu masih ada jejak-jejaknya. Bahkan kemudian dipelajari oleh generasi yang tidak pernah merasakan aksara-aksara tersebut.
Prasasti
Aksara tertua tercetap pada pada prasasti. Masyarakat awam sering menyebut prasasti dengan inskripsi, batu bertulis, atau batu bersurat. Aksara pada prasasti ditulis pada media yang tidak mudah rusak atau keras, misalnya batu, logam (emas, perak, perunggu, tembaga, timah), tanah liat (baik yang hanya dibakar maupun dijemur), tanduk binatang, dan bahan-bahan yang tidak mudah rusak lainnya.
Ada beberapa jenis batu yang digunakan untuk memahat prasasti, yakni batu alam dan batu kali. Biasanya batu besar dan berbentuk batu tunggal. Namun ada juga prasasti yang dipahatkan pada bagian benda atau bangunan, misalnya pada bibir sumur, dinding candi, relief, dan makara.
Masyarakat biasanya hanya tahu kalau prasasti berasal dari masa Hindu-Buddha atau dalam babakan arkeologi disebut Periode Klasik. Namun pada Periode Islam pun dikenal prasasti, tentu saja dengan aksara Arab. Beda dengan masa-masa sebelumnya yang sebagian besar beraksara Pallawa dan Jawa Kuno.
Pada Periode Islam prasasti dipahatkan pada nisan, mimbar masjid, hiasan dinding, rumah bangsawan, cungkup, cincin dan cap kerajaan, mata uang, dan meriam. Mirip dengan itu terjadi pada Periode Kolonial.Â
Umumnya prasasti dipahatkan pada nisan, rumah dinas pejabat, gereja, tugu peringatan, meriam, mata uang, dan cap. Sementara aksara Mandarin kuno dituliskan pada mata uang, keramik, gong perunggu, nisan, dan tugu peringatan.
Isi prasasti umumnya bermacam-macam seperti penetapan daerah yang dilindungi, keputusan pengadilan, utang-piutang, tanda kemenangan, bukti kewarganegaraan, ancaman, doa dan mantra, nama tempat, dan ungkapan perasaan seseorang. Sering kali prasasti mengandung angka tahun atau pertanggalan, sehingga menjadi acuan sejarah kuno.
Begitulah cerita tentang prasasti yang diungkapkan Ibu Ninie Susanti dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI). Epigrafi memang sebutan untuk pengetahuan yang mempelajari prasasti, sementara pakarnya disebut epigraf.
Manuskrip
Kalau prasasti menggunakan bahan-bahan keras, manuskrip ditulis pada media yang berbahan lunak. Pak Munawar Holil dari Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) mengatakan manuskrip berasal dari bahasa Latin manu (tangan) dan scriptum (tulisan). Jadi manuskrip adalah tulisan tangan. Sebagian orang menyebut manuskrip dengan naskah (kuno).
Tadinya orang menganggap bahwa manuskrip hanya berkenaan dengan karya sastra. Namun dari hasil penelaahan diketahui isi manuskrip berbagai macam, seperti sejarah, hukum adat, keagamaan, cerita kepahlawanan, bahkan pengobatan, ramalan, arsitektur, seni musik, seni tari, dan astronomi.
Manuskrip ditulis pada kertas, lontar, kulit kayu, bambu, daluwang, dan gebang. Sebagian besar manuskrip ditulis pada kertas dan masih dimiliki oleh masyarakat karena dianggap keramat sebagai tinggalan leluhur.
Bahkan ada manuskrip yang tidak boleh diperlihatkan kepada umum, kecuali untuk keluarga si pemilik manuskrip. Akibatnya banyak manuskrip rusak, baik dimakan rayap maupun oleh penyebab lain. Kerusakan pada manuskrip bisa dilihat pada foto dalam tulisan ini.
Ternyata manuskrip tidak hanya berupa teks. Ada juga manuskrip berisi simbol-simbol tertentu. Pak Munawar memperlihatkan beberapa manuskrip yang tergolong unik karena bentuknya, seperti sureq baweng yang berbentuk gulungan seperti pita kaset dan kutika yang memberi petunjuk tentang saat yang baik.
Pengetahuan yang mempelajari manuskrip disebut filologi, sementara pakarnya disebut filolog. Selain dari media atau bahan penulisan, perbedaan lain dari prasasti dan manuskrip menyangkut masa. Boleh dibilang manuskrip memiliki kurun waktu setelah era Kerajaan Majapahit, yakni mulai abad ke-15. Â
Keduanya, prasasti dan manuskrip selalu saling mendukung. Tentu saja ini untuk memperkaya penulisan sejarah kuno Indonesia. Ada yang disayangkan kalau kita menemukan prasasti yang (di)rusak atau manuskrip yang lapuk dimakan waktu.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H