Begitulah cerita tentang prasasti yang diungkapkan Ibu Ninie Susanti dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI). Epigrafi memang sebutan untuk pengetahuan yang mempelajari prasasti, sementara pakarnya disebut epigraf.
Manuskrip
Kalau prasasti menggunakan bahan-bahan keras, manuskrip ditulis pada media yang berbahan lunak. Pak Munawar Holil dari Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) mengatakan manuskrip berasal dari bahasa Latin manu (tangan) dan scriptum (tulisan). Jadi manuskrip adalah tulisan tangan. Sebagian orang menyebut manuskrip dengan naskah (kuno).
Tadinya orang menganggap bahwa manuskrip hanya berkenaan dengan karya sastra. Namun dari hasil penelaahan diketahui isi manuskrip berbagai macam, seperti sejarah, hukum adat, keagamaan, cerita kepahlawanan, bahkan pengobatan, ramalan, arsitektur, seni musik, seni tari, dan astronomi.
Manuskrip ditulis pada kertas, lontar, kulit kayu, bambu, daluwang, dan gebang. Sebagian besar manuskrip ditulis pada kertas dan masih dimiliki oleh masyarakat karena dianggap keramat sebagai tinggalan leluhur.
Bahkan ada manuskrip yang tidak boleh diperlihatkan kepada umum, kecuali untuk keluarga si pemilik manuskrip. Akibatnya banyak manuskrip rusak, baik dimakan rayap maupun oleh penyebab lain. Kerusakan pada manuskrip bisa dilihat pada foto dalam tulisan ini.
Ternyata manuskrip tidak hanya berupa teks. Ada juga manuskrip berisi simbol-simbol tertentu. Pak Munawar memperlihatkan beberapa manuskrip yang tergolong unik karena bentuknya, seperti sureq baweng yang berbentuk gulungan seperti pita kaset dan kutika yang memberi petunjuk tentang saat yang baik.
Pengetahuan yang mempelajari manuskrip disebut filologi, sementara pakarnya disebut filolog. Selain dari media atau bahan penulisan, perbedaan lain dari prasasti dan manuskrip menyangkut masa. Boleh dibilang manuskrip memiliki kurun waktu setelah era Kerajaan Majapahit, yakni mulai abad ke-15. Â
Keduanya, prasasti dan manuskrip selalu saling mendukung. Tentu saja ini untuk memperkaya penulisan sejarah kuno Indonesia. Ada yang disayangkan kalau kita menemukan prasasti yang (di)rusak atau manuskrip yang lapuk dimakan waktu.***
Â