Yang unik, di Bali belum ditemukan adanya prasasti yang menggunakan aksara Pallawa. Aksara Bali dikenal di sana karena memiliki karakteristik yang berbeda. Begitu pun di Sumatra, dikenal aksara Sumatra Kuno yang kemudian menurunkan aksara lokal, yaitu Kaganga (Lampung), Rejang (Bengkulu), dan Batak. Selanjutnya pada abad ke-14 hingga ke-18 berkembang aksara dan bahasa Sunda Kuno.
Arab hingga Latin
Pada masa selanjutnya muncul pengaruh Islam. Karena itu aksara Arab dipergunakan untuk menulis dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara. Maka muncullah aksara Jawi, Pegon, Serang, Rambang Buri Woleo, dan Melayu Bima. Prasasti beraksara Arab biasanya terdapat pada nisan kuno, makam kuno, dan manuskrip kuno. Paling banyak terdapat di Aceh, sehingga nisan tipe Aceh menjadi acuan jika ditemukan nisan bertulis di daerah lain.
Sayang, banyak nisan Aceh telah hilang, terutama terjadi saat bencana tsunami 2004 lalu. Beberapa foto nisan Aceh sempat didokumentasikan pada abad ke-19. Saat ini foto kaca nisan Aceh menjadi koleksi Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek.
Aksara asing lainnya yang pernah masuk Nusantara adalah aksara Han (bahasa Tiongkok). Prasasti beraksara Han pernah ditemukan di Kepulauan Selat Karimata. Diduga prasasti itu peninggalan tentara kekaisaran Tiongkok yang melakukan ekspedisi masa Dinasti Song akhir abad ke-12-13. Aksara Han sering terdapat pula pada temuan keramik.
Menurut Ninie Susanti, inskripsi Latin tertua di Indonesia terdapat pada prasasti Padrao bertahun 1522, yaitu setelah Portugis berhasil menguasai Malaka. Aksara Latin dikenalkan secara resmi di Nusantara pada 1536 melalui sekolah yang didirikan oleh seorang penguasa Portugis, Antonio Galvao, di Ambon.
Gulungan Timah
Pada pameran terlihat gulungan timah yang bertuliskan. Prasasti-prasasti timah ditemukan di muara Sungai Musi dan Batanghari. Isi prasasti timah biasanya doa, mantra, dan bisa juga rajah. Diperkirakan prasasti timah berkembang pada abad ke-10---18. Pada foto tampak prasasti dalam bentuk gulungan dan terbuka. Disayangkan, karena berbentuk gulungan, benda ini sering digunakan untuk bandul jaring nelayan.
Pameran ini menampilkan objek prasasti dalam bentuk replika dan abklats. Replika adalah benda tiruan sesuai aslinya. Saat ini teknologi sudah maju sehingga bisa dibuatkan replika menggunakan bahan fiber yang ringan. Bayangkan kalau mengangkat batu seberat ratusan kilogram. Sementara abklats adalah cetakan prasasti yang dibuat menggunakan kertas. Dulu menggunakan kertas singkong atau kertas roti karena mudah dibentuk. Air menjadi alat bantu pembuatan abklats.
Nah, mumpung masih ada waktu, silakan berkunjung saja ke pameran. Museum Kebangkitan Nasional mudah dicapai dengan transportasi publik. Jika naik Transjakarta turun di halte Kwitang atau halte Senen Raya (sebelumnya bernama halte Atrium). Selanjutnya sambung jalan kaki sejauh kira-kira 300 meter.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H