Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masyarakat Sumba Masih Mengenal Kubur Batu, Tradisi Ribuan Tahun Lalu

10 Juli 2024   15:17 Diperbarui: 12 Juli 2024   09:17 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kubur batu di Kampung Raja Prailiu, Waingapu, Sumba Timur, Sabtu (13/7/2019) | KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO

Selama bertahun-tahun penelitian arkeologi di Indonesia bagian Tengah jarang dilakukan. Padahal potensi Indonesia bagian Tengah, juga Indonesia bagian Timur, sebenarnya tidak kalah dengan potensi Indonesia bagian Barat.

Mulai 2000-an potensi Indonesia bagian Tengah mulai digarap oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang sejak dua tahun lalu melebur ke dalam BRIN. Sumba menjadi salah satu lokasi penelitian.

Dua situs yang pernah beberapa kali diteliti adalah Melolo dan Lambanapu. Di kedua situs yang terletak di NTT itu pernah ditemukan sejumlah rangka manusia. 

Rangka manusia dari situs  Mborombaku (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)
Rangka manusia dari situs  Mborombaku (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)

Bahkan di Melolo ditemukan tempayan yang berusia sekitar 2.800 tahun.  Gerabah Melolo dikenal luas di kalangan arkeolog, terutama yang mendalami prasejarah. Uniknya, di dalam tempayan sering kali ditemukan tulang-belulang manusia. Dulu memang tempayan digunakan sebagai wadah kubur.  

Temuan arkeologi dari situs Lambanapu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)
Temuan arkeologi dari situs Lambanapu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)

Rangka Manusia

Dari berbagai artefak yang ditemukan tim peneliti, situs Lambanapu diperkirakan berasal dari zaman Praneolitik atau Paleometalik. Sejauh ini, dari berbagai bukti yang ditemukan, situs Lambanapu masuk kategori situs kuburan, bukan perkampungan. 

Soalnya di situs itu belum ditemukan sisa-sisa tempat tinggal, peralatan dapur, atau senjata tradisional. Di kalangan arkeologi dikenal sebagai situs Nekropolis, yang menurut KBBI daring berarti pekuburan besar dari suatu kota kuno.

Di Lambanapu juga ditemukan berbagai bekal kubur yang menunjukkan adanya hubungan antara leluhur Sumba dengan luar negeri sejak dahulu yakni Austronesia. Temuan itu berupa mangkuk perunggu berisi manik-manik berwarna-warni dan perhiasan.

Begitu yang saya serap dari paparan Dr. Retno Handini tentang "Prasejarah Austronesia dan Budaya Berkelanjutan di Sumba". Paparan itu ia sampaikan pada talkshow yang diselenggarakan pada Rabu, 10 Juli 2024 melalui Zoom dan Youtube. Talkshow itu diselenggarakan atas kerja sama Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS) dengan Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan (PRALMBB).

Kegiatan kali ini merupakan kegiatan ke-20-an yang diselenggarakan oleh CPAS. Pendirian CPAS dipelopori oleh Prof. (Ris.) Truman Simanjuntak pada 2022. Dalam bahasa Indonesia CPAS diartikan Yayasan Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia.

Kubur batu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)
Kubur batu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)

Ekskavasi Arkeologi

Menurut Retno, dari ketiga situs yang dilakukan ekskavasi arkeologi, situs tertua adalah Melolo. Situs itu sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.800 tahun yang lalu. Sementara situs Lambanapu dihuni sekitar 2.600 tahun yang lalu. Sedangkan situs Mborombaku masih relatif muda sekitar 1.300 BP (Before Present).   

Yang menarik, kata Retno, masyarakat Sumba masih mengenal kubur batu (reti). Tradisi itu berasal dari ribuan tahun lalu. Peti itu terbuat dari batu besar. Untuk membuat kubur batu, batu besar seberat kira-kira tujuh ton, harus ditarik dari atas menuju rumah seseorang. 

Ritual Tengi Watu (Tarik Batu) membutuhkan sekitar 200 orang untuk  menarik batu itu. Jarak sekitar 1,2 kilometer membutuhkan waktu sekitar tujuh jam. Aktivitas itu dilakukan secara gotong royong antarwarga.

Tradisi sirih pinang juga masih berlanjut di Sumba. Sayang karena berbahan organik, sirih pinang tidak ditemukan dalam ekskavasi arkeologi. Kata Retno, kemungkinan besar sirih pinang yang menempel pada gigi masih bisa diidentifikasi dan ditentukan umurnya. Hanya kendalanya, menghitung pertanggalan lewat cara itu amat mahal harganya.

Menurut Retno, tradisi budaya yang masih bertahan dan berkelanjutan di Sumba dikuatkan oleh kepercayaan asli mereka Marapu yang sangat menghormati leluhur dan mempertahankan ajaran nenek moyang dalam keseharian hidup mereka sampai saat ini.

Situs-situs itu, menurut Retno, perlu sekali diperhatikan oleh pemerintah daerah. Masyarakat harus bahu-membahu ikut melestarikan situs. Retno melihat ada situs yang rusak karena banjir. Bahkan ada tinggalan budaya yang retak-retak karena getaran kendaraan. 

Semoga pemerintah daerah memelopori pelestarian situs dalam rangka penguatan karakter dan kebanggaan diri masyarakat. Bukan tidak mungkin menjadi daya tarik pariwisata.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun