Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masyarakat Sumba Masih Mengenal Kubur Batu, Tradisi Ribuan Tahun Lalu

10 Juli 2024   15:17 Diperbarui: 12 Juli 2024   09:17 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kubur batu di Kampung Raja Prailiu, Waingapu, Sumba Timur, Sabtu (13/7/2019) | KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO

Kegiatan kali ini merupakan kegiatan ke-20-an yang diselenggarakan oleh CPAS. Pendirian CPAS dipelopori oleh Prof. (Ris.) Truman Simanjuntak pada 2022. Dalam bahasa Indonesia CPAS diartikan Yayasan Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia.

Kubur batu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)
Kubur batu (Sumber: Tangkapan layar materi Retno Handini)

Ekskavasi Arkeologi

Menurut Retno, dari ketiga situs yang dilakukan ekskavasi arkeologi, situs tertua adalah Melolo. Situs itu sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2.800 tahun yang lalu. Sementara situs Lambanapu dihuni sekitar 2.600 tahun yang lalu. Sedangkan situs Mborombaku masih relatif muda sekitar 1.300 BP (Before Present).   

Yang menarik, kata Retno, masyarakat Sumba masih mengenal kubur batu (reti). Tradisi itu berasal dari ribuan tahun lalu. Peti itu terbuat dari batu besar. Untuk membuat kubur batu, batu besar seberat kira-kira tujuh ton, harus ditarik dari atas menuju rumah seseorang. 

Ritual Tengi Watu (Tarik Batu) membutuhkan sekitar 200 orang untuk  menarik batu itu. Jarak sekitar 1,2 kilometer membutuhkan waktu sekitar tujuh jam. Aktivitas itu dilakukan secara gotong royong antarwarga.

Tradisi sirih pinang juga masih berlanjut di Sumba. Sayang karena berbahan organik, sirih pinang tidak ditemukan dalam ekskavasi arkeologi. Kata Retno, kemungkinan besar sirih pinang yang menempel pada gigi masih bisa diidentifikasi dan ditentukan umurnya. Hanya kendalanya, menghitung pertanggalan lewat cara itu amat mahal harganya.

Menurut Retno, tradisi budaya yang masih bertahan dan berkelanjutan di Sumba dikuatkan oleh kepercayaan asli mereka Marapu yang sangat menghormati leluhur dan mempertahankan ajaran nenek moyang dalam keseharian hidup mereka sampai saat ini.

Situs-situs itu, menurut Retno, perlu sekali diperhatikan oleh pemerintah daerah. Masyarakat harus bahu-membahu ikut melestarikan situs. Retno melihat ada situs yang rusak karena banjir. Bahkan ada tinggalan budaya yang retak-retak karena getaran kendaraan. 

Semoga pemerintah daerah memelopori pelestarian situs dalam rangka penguatan karakter dan kebanggaan diri masyarakat. Bukan tidak mungkin menjadi daya tarik pariwisata.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun