Saat pertama kali ditemukan memang Candi Borobudur dalam kondisi berantakan. Lihat saja kondisi stupa induk masih menganga. Soal stupa induk pun pernah menjadi pro-kontra, apakah berongga atau padat. Ditambah lagi adanya arca yang belum selesai. Ada yang bilang seharusnya di dalam stupa induk.
PolemikÂ
Sebenarnya usul pemasangan chattra sudah dilakukan sejak lama. Pada 2018 ada kegiatan FGD (Focus Group Discussion) di Magelang. Waktu itu hadir arkeolog senior, ahli pemugaran, dan sebagainya. Kesimpulannya, chattra tidak layak dipasang karena pertimbangan-pertimbangan arkeologis.
Menanggapi hal ini, ada tulisan menarik dari Praviravara Jayawardhana pada Kompasiana, 26 Maret 2021. Tulisannya berjudul "Memahami Chattra Borobubur dan Melerai Sebuah Polemik". Menurutnya, pusaran polemik tersebut selalu berputar di disiplin arkeologi saja tanpa mempertimbangkan disiplin ilmu keagamaan. Yang beliau maksud adalah filosofi dalam Buddha, yang sebenarnya justru menjadi pondasi dibangunnya situs tersebut pada awalnya. (Baca selengkapnya di sini)
Chattra memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme. Pemaknaan chattra dalam filosofi Buddhisme dapat dirangkum menjadi tiga, yakni sebuah objek persembahan surgawi, sebagai pelindung, dan sebagai penanda anggota keluarga kerajaan.
"Sebuah fakta bahwa batu-batu serpihan chattra telah ditemukan oleh van Erp di dalam lokasi Candi Borobudur. Oleh karena itu, tanpa perlu mengerdilkan disiplin ilmu arkeologi, namun cukup dengan memberikan sedikit ruang interpretasi bagi disiplin ilmu Buddhisme, maka kita seyogyanya bisa mengambil sebuah keberanian untuk melerai polemik berkepanjangan seputar chattra Candi Borobudur dan merekonstruksi pemasangan chattra ini di puncak stupa utama Candi Borobudur. Dengan demikian, umat Buddha secara khususnya dan bangsa Indonesia secara umumnya, sebagai pemilik sah Candi Borobudur, pun akhirnya dapat menikmati sebuah rasa puas karena akhirnya Sang Candi berhasil mencapai status paripurna yang sempurna," begitu tulis Praviravara.
Saya membaca berbagai pendapat dilontarkan di media sosial atas pernyataan Menag baru-baru ini. Tanpa dipasang chattra pun, Borobudur sudah dikenal dunia. Komentar lain, sebaiknya sih biarkan apa adanya, jangan sampai ranah politik masuk ke dunia warisan bangsa.
Jumat pagi, 4 Agustus 2023, saya membaca komentar menarik dari Nurhadi Magetsari, pensiunan Guru Besar Arkeologi UI. "Persoalan sebenarnya bukan boleh atau tidak hasil rekonstruksi van Erp itu dipasang tapi apakah chattra itu asli dalam arti batu asli yang dipakai itu terwakili atau tidak," katanya. Beliau menambahkan, menurut hemat saya perlu dipertajam kaidah yang diterapkan guna menentukan keabsahan hasil pemugaran.Â
Tentu saja sekarang kita perlu memberi batasan batu-batu asli dan batu-batu baru yang boleh dipakai untuk pemugaran. Adanya batas toleransi tentu penting diketahui masyarakat.