Menurut Abu Bakar, buku itu berisi dua bagian, yakni laporan tentang Asia Tenggara abad ke-9---10 Â M dan terjemahan buku. Sebagian besar laporan oleh orang-orang Timur Tengah.
Drs. Sony C. Wibisono, M.A, DEA yang ikut memberikan kata pengantar buku mengatakan, Â buku ini berkisah tentang penjelajahan pelaut Arab dan Persia ke wilayah timur Cina, termasuk Nusantara (Indonesia). Buku ini sebuah rajutan beberapa sumber Arab yang berasal dari kurun waktu antara abad ke-9 -- 15 masa Abbasanid.Â
Buku ini menginformasikan bagaimana penjelajah Arab mengungkapkan istilah zirbadad atau "tanah di bawah angin" yang merujuk pada Nusantara, khususnya di wilayah Sumatera. Kata Sony berikutnya, "Zabaj dideskripsikan sebagai negeri yang ... 'berbatasan dengan Negeri Cina, jarak antara keduanya selama satu bulan perjalanan atau kurang jika angin bertiup kencang. Rajanya digelari Maharaja.'
Selanjutnya dikatakan Zabaj memiliki banyak pulau, terutama Palau Kalah, Sarirah, Rami atau Fansur. Barang dagangan yang dihasilkan seperti timah, kemenyan, kapur, cendana, kayu jati, kayu hitam, dan jenis rempah-rempah lainnya. Sejarawan Perancis George Coedes menafsirkan Zabaj sebagai Kerajaan Sriwijaya.
"Para pelaut dan penjelajah Arab telah memberikan kontribusi besar dalam mengungkapkan dan menuliskan sejarah peradaban dan pelayaran dunia Islam di Nusantara. Permasalahan selanjutnya apakah data tersebut valid dan bisa dimanfaatkan dalam penelitian arkeologi? Di sinilah kemudian peran pendekatan textcavation (tekskavasi) untuk memverifikasi kesesuaian data arkeologi dan data sejarah/teks," demikian Sony.
Dr. Sastri Sunarti, M.Hum kemudian mempresentasikan makalahnya Sumber Manuskrip dan Tradisi Lisan dalam Penelitian Sejarah dan Arkeologi: Contoh dari Riset Musyawarah Adat di Sumatera dan Majapahit. "Riset ini terinspirasi dari cerita atau memori kolektif masyarakat yang tidak ditemukan dalam teks buku sejarah. Cerita tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Majapahit yang jauh berbeda dari buku-buku sejarah. Bukan di daerah Jawa, tetapi di Sumatera, Sulawesi, hingga ke wilayah timur Indonesia, seperti NTT. Mereka bahkan mampu menunjukan bukti-bukti berupa syair Jawa, hingga topomini nama tempat," kata Sastri.
Menurut Sastri, di dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau tidak ada satu pun yang mengenal Adityawarman. Namanya hanya digunakan sebagai nama museum di Kota Padang. "Seolah-olah antara fakta arkeologis dan historis tidak cukup untuk menjadikan Adityawarman sebagai raja yang pernah berkuasa di Minangkabau," katanya. Ia menambahkan, struktur pemerintahan Minangkabau banyak mengadopsi sistem pemerintahan Majapahit.
Filolog Prof. Dr. Oman Fathurahman mengatakan, tiga sumber rujukan masa lampau inskripsi/prasasti (pahat), manuskrip (tulis); lontar, gebang dan kertas, dan folklor (lisan); dongeng, pantun, dan tembang. Prof. Oman pernah melakukan pendekatan Arkeo Filologi untuk melihat apakah Sunda Empire memiliki landasan historis tentang Kerajaan Pasundan. Untuk memulai riset tersebut, ia melakukan pengujian terhadap tinggalan pra Islam, salah satunya adalah prasasti beraksara Sunda Kuno.Â
Oman juga memperkenalkan istilah Arkeo-Filologi, yakni pendekatan kajian untuk merekonstruksi kebudayaan manusia masa lampau, dengan memadukan pemanfaatan data yang dijumpai dalam material arkeologis (prasasti, batu nisan, situs, dll) dan filologis (manuskrip kuna). Proyeksi "Arkeologi-Filologi bukan semata menelisik artefak, karena substansinya adalah mengungkap kehidupan manusia," kata beliau.
Kolaborasi antardisiplin tentu saja penting untuk mengungkap manusia masa lampau. Suatu saat tentu diperlukan kolaborasi antara Arkeologi, Filologi, Sejarah, dan Antropologi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H