Kita kehilangan lagi seorang arkeolog. Jumat, 11 November 2022 pukul 23.50, Ibu Edi Sedyawati (lahir 28 Oktober 1938) meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Sejak beberapa tahun terakhir memang aktivitas beliau begitu terbatas karena tergantung kursi roda.
Beberapa hari lalu dikabarkan beliau masuk ruang ICU di RSCM. Pembaruan informasi selalu dimuat pada WAG Arkeologi UI.
Namun daya ingat beliau masih cukup baik. Dalam keterbatasan itu, beliau masih sempat datang ke Museum Nasional. Seperti tampak dalam foto yang diunggah rekan Ratna Suranti dan Cahyo Junaedy. Â
Ibu Edi sangat berminat kepada seni arca. Dalam istilah arkeologi disebut ikonografi. Ini karena pada 1963 beliau menulis skripsi berjudul "Arca Wisnu dari Cibuaya".
Sejak lulus, beliau mengajar di Jurusan Arkeologi FSUI. Saya sendiri pernah mengikuti beberapa mata kuliah dari beliau, yakni Repertoar Sastra Jawa Kuno dan Ikonografi Hindu-Buddha.
Pada 1985 beliau berhasil membuat disertasi lewat penelitiannya terhadap arca Ganesha. Selanjutnya pada 1992 beliau dikukuhkan sebagai Gurubesar Arkeologi UI.
Pakar Tari
Ibu Edi dikenal pula sebagai pakar tari. Beliau pernah berkiprah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Bahkan menjadi Rektor IKJ. Di luar arkeologi, beliau pun pernah menjabat Ketua Jurusan Sastra Jawa UI.
Beberapa jabatan pernah beliau pegang, antara lain sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan (1993-1999) dan Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999, 1999-2002).
Ibu Edi Sedyawati dikenal luas karena memiliki beberapa keahlian. Yang mendukung kepopulerannya, beliau sering menulis secara populer di media-media cetak. Tulisan-tulisan beliau mencakup arkeologi dan kebudayaan. Meskipun tulisan populer, karya beliau sering dijadikan referensi oleh para mahasiswa. Â
Boleh dibilang menulis menjadi 'makanan' sehari-hari beliau. Jangan heran ketika menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan, beliau menyusun sendiri sambutan atau pidato yang hendak disampaikan. Kumpulan sambutan beliau kemudian dikumpulkan dalam buku Budaya Indonesia.
Prasasti
Ketika menjadi mahasiswa, Edi Sedyawati termasuk cerdas. Ini pernah disampaikan Pak Boechari, seniornya di Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia, nama ketika itu. Boechari sendiri dikenal sebagai pakar membaca prasasti atau pakar epigrafi.
Karena cerdas, Edi Sedyawati pernah dijadikan asisten oleh Boechari. Ini karena beliau mahir membaca aksara kuno. Namun kemudian Edi beralih kepada arca kuno. "Ih ngeri kalau membaca aksara kuno," begitu pernah diungkapkan Boechari kepada penulis.
Ibu Edi memiliki dua putra, yakni Teguh Anantawikrama dan Bima Sinung Widagdo. Nama-nama yang masih 'bersifat' arkeologi. Pak Boechari lah yang memberi nama itu. Di kalangan arkeologi, Pak Boechari dikenal sebagai 'pakar pemberi nama bayi'.
Ibu Edi pernah mendapat sejumlah penghargaan antara lain dari pemerintah, komunitas, dan Habibie Center.
Selamat jalan Ibu Edi, semoga ibu mendapatkan tempat terbaik. Terima kasih atas ilmu dan perhatian yang ibu berikan kepada saya.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H