Boleh dibilang menulis menjadi 'makanan' sehari-hari beliau. Jangan heran ketika menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan, beliau menyusun sendiri sambutan atau pidato yang hendak disampaikan. Kumpulan sambutan beliau kemudian dikumpulkan dalam buku Budaya Indonesia.
Prasasti
Ketika menjadi mahasiswa, Edi Sedyawati termasuk cerdas. Ini pernah disampaikan Pak Boechari, seniornya di Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia, nama ketika itu. Boechari sendiri dikenal sebagai pakar membaca prasasti atau pakar epigrafi.
Karena cerdas, Edi Sedyawati pernah dijadikan asisten oleh Boechari. Ini karena beliau mahir membaca aksara kuno. Namun kemudian Edi beralih kepada arca kuno. "Ih ngeri kalau membaca aksara kuno," begitu pernah diungkapkan Boechari kepada penulis.
Ibu Edi memiliki dua putra, yakni Teguh Anantawikrama dan Bima Sinung Widagdo. Nama-nama yang masih 'bersifat' arkeologi. Pak Boechari lah yang memberi nama itu. Di kalangan arkeologi, Pak Boechari dikenal sebagai 'pakar pemberi nama bayi'.
Ibu Edi pernah mendapat sejumlah penghargaan antara lain dari pemerintah, komunitas, dan Habibie Center.
Selamat jalan Ibu Edi, semoga ibu mendapatkan tempat terbaik. Terima kasih atas ilmu dan perhatian yang ibu berikan kepada saya.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H