Kamis, 6 Oktober 2022 kita kehilangan lagi seorang arkeolog senior. Bambang Budi Utomo (1954-2022) meninggal karena sakit. Ia dimakamkan keesokan harinya di Srengseng Sawah.
Tommy, begitulah nama panggilannya, setia bergabung dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, sejak lulus dari UI. Karena berstatus peneliti utama, ia pensiun dalam usia 65 tahun, tepatnya pada 2019. Saat ia menunggu surat, muncul pengumuman bahwa usia pensiun peneliti utama naik menjadi 70 tahun. Sayang, surat keputusan sudah ditandatangani. Jadi ia tetap pensiun pada usia 65.
Tommy memiliki kepakaran di bidang Arkeologi Klasik. Arkeologi Klasik identik dengan masa Hindu-Buddha, sebuah periodesasi dalam arkeologi. Kalau berbicara tentang Kerajaan Sriwijaya, maka beliau cukup hafal. Begitu pula tentang kepurbakalaan Jambi.
MenulisÂ
Tommy senang berbagi. Ia menulis pada beberapa media cetak lokal dan nasional sejak 1980-an. Dengan demikian namanya menyebar. Akibatnya ia dikenal juga di kalangan non-arkeologi, termasuk  organisasi Buddha. Maklum tinggalan Buddha, seperti Candi Borobudur, menjadi salah satu kajian arkeologi. Ia sempat menulis buku Buddha di Nusantara.
Tulisan Tommy boleh dibilang bersifat ilmiah populer. Ia menggunakan berbagai referensi yang kemudian diolah lagi menjadi tulisan untuk media cetak. Masa 2000-an Tommy sering menulis di Kompas untuk rubrik Sorotan atau Teropong. Dalam banyak tulisan ia sering menyebut "Kerani Rendahan". Maklum ia hanya berpendidikan S-1, tidak berambisi kuliah tambahan di S-2 atau S-3.
Beda dengan tulisan saya yang lebih cenderung ke populer murni. Kalaupun ada ilmiahnya, yah cuma sedikit. Karena itu tulisan saya lebih sering dimuat dalam rubrik Opini di Kompas.
Sebagai staf Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (yang sejak awal 2022 berubah menjadi bagian dari BRIN), Tommy adalah orang gajian dan kemudian orang pensiunan. Sementara saya, dari dulu sampai sekarang, tetap orang honorariuman. Artinya mengandalkan hidup dari honorarium tulisan.
Otokritik
Sebagai peneliti, Tommy bergaul dengan siapa saja. Karenanya ia banyak mendapatkan informasi arkeologi, baik tentang masalah pribadi maupun masalah instansional. Tak segan-segan ia sering memberikan otokritik kepada para arkeolog, terutama instansinya. Maklum, penelitian arkeologi sering dilakukan tapi publikasi minim sehingga informasi arkeologi tidak sampai ke publik.
Kalau ada masalah arkeologi, ia sering mengontak saya. "Tuh bikin berisik arca nandi," katanya. Arca itu milik seorang kolektor, yang katanya berharga miliaran. Banyak jurnalis menulis hal yang fantastis. Cuma saya yang menulis arca itu palsu atau hanya benda seni, bukan benda purbakala.
Lain waktu ia mengontak saya tentang kasus Gunung Padang. "Kita duet aja lawan pihak sono. Yang lain lo suruh tiarap dulu," katanya. Kasus Gunung Padang mencuat sekitar 10 tahun lalu karena keterlibatan orang partai.
Sebelum pensiun, saya sering main ke ruangannya. "Gak ada arkeolog kayak elu mau membumikan arkeologi lewat tulisan. Bahkan berbagi buku kepada publik lewat kuis buku," katanya. "Nih buit kuis buku, masing-masing 5 eksemplar cukup yah," katanya lagi sambil memberikan buku tentang arca dan Buddha. Di ruangannya itu saya ditraktir toge goreng yang mangkal di depan kantor.
Berbagi di Facebook
Tommy sering berbagi tulisan ilmiah populer di Facebook. Tentu saja tentang Arkeologi Hindu-Buddha seperti cerita makara, candi di Muarojambi, dan Suwarnabhumi/Suwarnadwipa. Setiap ia memunculkan tulisan itu, banyak orang membagikan tulisan itu. Berkat Tommy pengetahuan arkeologi tersebar lewat media sosial dan pemerhati budaya.
Kini Tommy telah tiada. Entah apakah masih ada arkeolog yang mau dan mampu menulis demi idealis dan publik. Kita tunggu. Selamat jalan sahabat. Karyamu--tulisan di media cetak, media sosial, dan buku---tetap abadi.*** Â Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H