Menurut Bambang, sebagaimana kompas.id (30/9/2022) Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sebaiknya menghentikan pembangunan dengan cara menyegel bangunan.Â
Kemudian, DMPPTSP mengarahkan pemohon, yaitu Transjakarta, untuk menjalani prosedur. Untuk bangunan, permohonan diajukan ke Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG). Kemudian untuk aspek cagar budaya ke Dinas Kebudayaan, permohonan diajukan dalam Tim Sidang Pemugaran (TSP).
Yang membingungkan kita adalah komentar dari Direktur Utama PT Transportasi Jakarta M Yana Aditya. Beliau menjelaskan, masih menurut kompas.id, revitalisasi halte Transjakarta yang berada dekat kawasan cagar budaya, sudah berkoordinasi dengan semua pihak.
Begitu pula pihak Pemprov DKI Jakarta, yang jelas-jelas mengabaikan TACB dan TSP. Nah, pihak mana, apakah TACB dan TSP, pihak yang paling berkompeten. Ataukah pihak-pihak lain yang kurang mendalami masalah cagar budaya?
Kekuasaan dan Keilmuan
Sejak 1970-an pembangunan fisik di Jakarta tidak terencana dan terkontrol dengan baik. Sudah banyak terjadi perusakan, pembongkaran, bahkan penghilangan situs-situs masa lampau.Â
Kini yang banyak tersisa berupa tinggalan dari masa Islam dan masa Kolonial. Tinggalan dari masa Prasejarah dan masa Klasik (Hindu-Buddha) sangat sedikit sekali ditemukan di Jakarta. Periodesasi dalam arkeologi adalah masa Prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan Kolonial.
Dulu kekuasaan memegang peran. Faktor keilmuan atau sumbang saran para ilmuwan tidak mendapat perhatian. Hotel Des Indes, misalnya, yang dianggap bersejarah diratakan dengan tanah untuk digantikan pusat pertokoan di bilangan Harmoni. Itu terjadi masa 1970-an.
Yang jelas kekuasaan selalu nomor satu. Tentu sebagian pakar masih ingat ketika pada 2012 Museum Sejarah Jakarta akan membangun gedung tambahan di halaman belakang. Pada lokasi itu pernah berdiri istal atau kandang kuda. Dulu trem kuda pernah ada di Batavia. Ketika itu Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Pak Fauzi Bowo.
Banyak pakar memberi masukan terhadap pembangunan gedung tambahan itu. Bayangkan pakar sekelas Adolf Heuken (alm) tidak digubris. Padahal beliau ibarat ensiklopedia berjalan tentang sejarah Jakarta. Beberapa arkeolog pun 'dibungkam' oleh penguasa. Â