Dalam beberapa hari terakhir muncul polemik soal pembangunan atau revitalisasi halte Transjakarta Bundaran HI dan Tosari. Berita-berita tersebut muncul dalam berbagai media cetak, media daring, dan media elektronik. Kedua halte berada di kawasan yang dilindungi karena masuk kategori ODCB.
ODCB singkatan dari Obyek Diduga Cagar Budaya. Namun, obyek itu tetap diperlakukan sebagai Cagar Budaya. Dengan demikian keberadaannya dilindungi oleh Undang-undang Cagar Budaya yang dikeluarkan pada 2010.
Kawasan Bundaran HI yang ditetapkan sebagai ODCB adalah Patung Selamat Datang, air mancur, dan jalan di sekitarnya. Â Yang dipermasalahkan banyak pihak adalah kedua halte akan menutupi pandangan Patung Selamat Datang. Jadi terletak pada masalah visual. Betapa pun masalah visual tetap menjadi 'polusi' bagi cagar budaya.
Setelah itu muncul pula kritikan terhadap halte Kebon Pala di Jatinegara, yang dipandang merusak visual Gereja Koinonia (Bethel). Di depan gereja juga ada patung pahlawan. Gereja itu sudah ditetapkan menjadi cagar budaya. Banyak pihak menganggap pembangunan halte melanggar kaidah pelestarian cagar budaya.
Rekomendasi
Ternyata rencana pembangunan ketiga halte tidak berkoordinasi terlebih dulu dengan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Tim Sidang Pemugaran (TSP). TACB terdiri atas beberapa orang dengan kepakaran masing-masing-masing, seperti arkeologi, sejarah, dan arsitektur. TACB dinakhodai oleh arkeolog. Sementara TSP juga mirip TACB, dinakhodai oleh arsitek.
TACB dan TSP merupakan badan yang dibentuk oleh Gubernur DKI Jakarta. TACB dan TSP menjadi salah satu alat untuk memfilter hal-hal yang kira-kira sebaiknya jangan dilakukan atau bahkan didorong untuk dilakukan karena punya nilai positif.
TACB dan TSP bekerja secara profesional dan independen. Keberadaan TACB dan TSP di bawah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Jadi mereka mendapat honorarium dari Pemprov DKI Jakarta. Sementara PT Transjakarta merupakan milik Pemprov DKI Jakarta. Karena sama-sama berinduk pada Pemprov DKI Jakarta, tentu saja sebaiknya harus ada koordinasi.
Direncanakan, TACB DKI Jakarta akan memanggil PT Transjakarta untuk membahas masalah polemik tersebut. Begitu pun DPRD DKI Jakarta, akan melakukan hal serupa.Â
Dalam tulisan-tulisan di media itu ada beberapa narasumber diwawancarai, antara lain J.J. Rizal (sejarawan), Candrian Attahiyyat (arkeolog), dan Bambang Eryudhawan (arsitek).Â
Menurut Bambang, sebagaimana kompas.id (30/9/2022) Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sebaiknya menghentikan pembangunan dengan cara menyegel bangunan.Â
Kemudian, DMPPTSP mengarahkan pemohon, yaitu Transjakarta, untuk menjalani prosedur. Untuk bangunan, permohonan diajukan ke Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG). Kemudian untuk aspek cagar budaya ke Dinas Kebudayaan, permohonan diajukan dalam Tim Sidang Pemugaran (TSP).
Yang membingungkan kita adalah komentar dari Direktur Utama PT Transportasi Jakarta M Yana Aditya. Beliau menjelaskan, masih menurut kompas.id, revitalisasi halte Transjakarta yang berada dekat kawasan cagar budaya, sudah berkoordinasi dengan semua pihak.
Begitu pula pihak Pemprov DKI Jakarta, yang jelas-jelas mengabaikan TACB dan TSP. Nah, pihak mana, apakah TACB dan TSP, pihak yang paling berkompeten. Ataukah pihak-pihak lain yang kurang mendalami masalah cagar budaya?
Kekuasaan dan Keilmuan
Sejak 1970-an pembangunan fisik di Jakarta tidak terencana dan terkontrol dengan baik. Sudah banyak terjadi perusakan, pembongkaran, bahkan penghilangan situs-situs masa lampau.Â
Kini yang banyak tersisa berupa tinggalan dari masa Islam dan masa Kolonial. Tinggalan dari masa Prasejarah dan masa Klasik (Hindu-Buddha) sangat sedikit sekali ditemukan di Jakarta. Periodesasi dalam arkeologi adalah masa Prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, dan Kolonial.
Dulu kekuasaan memegang peran. Faktor keilmuan atau sumbang saran para ilmuwan tidak mendapat perhatian. Hotel Des Indes, misalnya, yang dianggap bersejarah diratakan dengan tanah untuk digantikan pusat pertokoan di bilangan Harmoni. Itu terjadi masa 1970-an.
Yang jelas kekuasaan selalu nomor satu. Tentu sebagian pakar masih ingat ketika pada 2012 Museum Sejarah Jakarta akan membangun gedung tambahan di halaman belakang. Pada lokasi itu pernah berdiri istal atau kandang kuda. Dulu trem kuda pernah ada di Batavia. Ketika itu Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Pak Fauzi Bowo.
Banyak pakar memberi masukan terhadap pembangunan gedung tambahan itu. Bayangkan pakar sekelas Adolf Heuken (alm) tidak digubris. Padahal beliau ibarat ensiklopedia berjalan tentang sejarah Jakarta. Beberapa arkeolog pun 'dibungkam' oleh penguasa. Â
Akhirnya pembangunan tetap berjalan, meskipun banyak pakar menggerutu dan kesal terhadap sikap penguasa. Setelah ditelusuri, ada keterkaitan antara pelaksana pembangunan, penguasa, dan partai berkuasa.
Kita harapkan akan terjadi penyelesaian terbaik dalam pembangunan halte Bundaran HI, halte Tosari, dan halte Kebon Pala. Dengan harapan suara ilmuwan dan suara publik akan didengar, bukan hanya mementingkan kekuasaan. Semoga masyarakat tetap mengawal 'polusi' cagar budaya itu. Setidaknya kita harus belajar dari kasus 2012.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H