Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata Upacara Bendera Warisan Jepang di Indonesia

24 Agustus 2022   18:18 Diperbarui: 24 Agustus 2022   18:25 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Ibu Dewi (moderator), Pak Wakabayashi, Ibu Rouli, dan Pak Hiroaki (Dokpri)

Budaya populer Jepang masuk ke Indonesia lewat film kartun atau film animasi. Anime, begitu orang Jepang menyebutnya. Manga atau komik Jepang sangat dikenal di Indonesia. Kita pun kerap mendengar lagu Kokoro no tomo masa 1980-an, sebagaimana penuturan Ibu Rouli. Lagu Jepang ini sangat digandrungi di Indonesia. 

Lalu ada film Oshin. "Budaya populer Jepang tayang di TVRI pada 1970-an," kata Ibu Rouli. Waktu itu memang TVRI satu-satunya siaran televisi di Indonesia.

Para peserta diskusi luring di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Dokpri)
Para peserta diskusi luring di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Dokpri)

Budaya Jepang itu kemudian disesuaikan dengan budaya di Indonesia. Salah satu contohnya adalah cosplay tokoh animasi Jepang yang berhijab. Hijab Cosplay, menurut Ibu Rouli, adalah mengonsumsi lalu mereproduksi budaya Jepang, menyesuaikan dengan kaidah agama dan di saat yang bersamaan menikmati dan menginterpretasi ulang budaya populer Jepang.

Sebagaimana Wakabayashi, Hiroaki juga fasih berbahasa Indonesia. Hiroaki banyak menerjemahkan lagu-lagu Indonesia ke dalam bahasa Jepang. Ia sudah lama tinggal di Indonesia. Waktu pertama kali berbahasa Indonesia, ia cukup kesulitan. Soalnya, banyak bahasa nonbaku, misalnya 'ingin' sering diucapkan orang dengan 'pengen' atau kata 'tidak' diucapkan 'gak'. Namun berkat pergaulan lama-kelamaan ia mengerti.

Menurut Hiroaki, masyarakat Indonesia sangat religius. "Saya merasakan ketika memproduksi acara televisi selalu berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing," katanya.  

Diskusi berlangsung secara luring dan daring. Cukup banyak pertanyaan dilontarkan peserta luring dan daring kepada tiga narasumber. Kegiatan diskusi ditutup dengan pemberian cenderamata dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi kepada tiga narasumber dan seorang moderator.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun