Sampai kini pencurian di daratan dan di perairan masih sulit dicegah, termasuk dari dalam laut. Selama ratusan tahun berniaga, diketahui banyak kapal kargo tenggelam di perairan Nusantara karena berbagai sebab, seperti menabrak karang, peperangan, badai, dan kerusakan teknis. Hasil dari kapal tenggelam tergolong menggiurkan.Â
Mungkin kita masih ingat, pencurian dari dasar laut masa 1980-an lalu. Hasil lelang mencapai jutaan dollar yang masuk ke kantong sindikat pencurian. Â Penyelaman liar sulit diawasi, mengingat laut Nusantara sangat luas. Tentu saja pengawasan di darat juga sulit karena wilayah kita terbentang lebar, ditambah kondisi geografis yang beragam.Â
Namun, masyarakat yang peduli arkeologi pun cukup banyak. Mereka sering terlibat dalam upaya pelestarian meskipun dengan dana pribadi. Upaya mereka antara lain membuat papan nama cagar budaya di beberapa lokasi, memasang cungkup untuk melindungi prasasti-prasasti di areal warga, mendokumentasikan tinggalan atau ODCB (Obyek Diduga Cagar Budaya), serta  menyelenggarakan sinau cagar budaya dan aksara Jawa Kuno. Sejak beberpa tahun lalu komunitas pelestari sejarah dan budaya muncul di berbagai kota.
Ini tentu sesuai dengan prinsip Arkeologi Publik, bahwa masa lalu itu milik semua orang. Jadi setiap orang harus melindungi warisan masa lalu mereka. Namun bukan berarti setiap orang bebas merusak warisan dari masa lalu itu. Banyak nilai yang terkandung dari tinggalan masa lalu. Karena itu arkeologi harus benar-benar didukung publik dan untuk publik. Selama ini masih terlihat ironis, tinggalan arkeologi mendapat perhatian, sedangkan ilmu arkeologi/purbakala kurang mendapat perhatian.Â
Kewalahan
Sejak lama tenaga arkeolog sangat terbatas, tidak sebanding dengan luas wilayah Nusantara. Ini karena seluruh lulusan arkeologi tidak tertampung di instansi-instansi pemerintah. Inilah masalah mendasar arkeologi, selalu kekurangan tenaga. Padahal lulusan arkeologi tergolong banyak. Mereka berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Jambi, dan Universitas Halu Oleo.
Arkeologi sendiri memiliki tiga instansi besar, yakni lembaga pendidikan tinggi (enam PTN di atas), lembaga penelitian (BRIN = Badan Riset dan Inovasi Nasional, sebelumnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi), dan lembaga pelestarian (Direktorat Pelindungan Kebudayaan serta Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, sebelumnya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman ditambah Balai Pelestarian Cagar Budaya). Dalam pekerjaan sehari-hari, arkeologi didukung oleh Dinas Kebudayaan dari berbagai provinsi/kota/kabupaten.
Hari Purbakala
Sebenarnya kegiatan arkeologi di Nusantara sudah berlangsung lama. Pengumpulan dan penelitian tinggalan arkeologi, misalnya, sudah dilakukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sejak 1778. Namun secara instansional baru dihitung sejak 14 Juni 1913, saat berdiri Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Tanggal itulah yang kemudian dijadikan awal Hari Purbakala.
Dalam perkembangannya Dinas Purbakala pun beberapa kali berganti nomenklatur. Sebelum 1975 bernama Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Sejak 1975 LPPN terbagi dua, yaitu instansi yang bergerak di bidang pelestarian disebut Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sedangkan intansi yang bergerak di bidang penelitian disebut Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N).
Nama DSP beberapa kali berubah nomenklatur. Terakhir bernama Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Ini pun kemudian pecah lagi dan tidak menyandang nama purbakala/cagar budaya.
Nama P4N beberapa kali berubah nomenklatur. Terakhir bernama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sejak awal 2022 bergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Organisasi Riset (OR) Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra).