Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengemas Wisata Candi: Belajar dari Kasus Borobudur

25 Juni 2022   09:43 Diperbarui: 25 Juni 2022   14:02 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu candi di kompleks Muaro Jambi yang berciri Buddha (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Di Indonesia banyak sekali terdapat candi. Karena itu negara kita pantas disebut 'Negeri Seribu Candi'. Candi-candi itu memiliki berbagai ukuran dan bentuk, dari kecil/rendah hingga besar/tinggi. Dari berdiri sendiri hingga berkelompok

 Ditinjau dari bahan yang digunakan, ada candi dari batu andesit dan ada candi dari batu bata. Hanya sedikit yang berbahan batu kapur. Mayoritas candi terdapat di Pulau Jawa. Di luar Jawa, candi terdapat di Sumatera, Bali, NTB, dan Kalimantan.

Dalam dunia arkeologi, candi berasal dari masa klasik sejarah Indonesia, yang disebut juga masa Hindu-Buddha. Dulu candi-candi dibuat untuk kepentingan umat Hindu dan Buddha dari berbagai aliran.

Candi Hindu, misalnya, ada yang ditujukan untuk Dewa Siwa, ada pula untuk Dewa Wisnu. Sedangkan candi Buddha, ada yang beraliran Mahayana, ada pula Tantrayana. Masa klasik sejarah Indonesia memiliki rentang waktu abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Di sekitar abad-abad itu candi banyak didirikan di seluruh Nusantara.

Dulu candi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Namun kemudian candi ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Bisa jadi sempat terbengkalai selama ratusan tahun. Dalam kurun waktu itulah beberapa kali terjadi bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan gunung meletus. Maka bangunan candi pun menjadi porak-poranda, lalu sedikit demi sedikit tertutup abu dari letusan gunung berapi.

Ketika ditemukan beberapa abad kemudian, batu-batu candi berserakan di sana-sini. Banyak warga, termasuk pemerintah kolonial Belanda, memanfaatkan batu-batu candi untuk pondasi rumah, pengeras jalan, bahan sumur, dan pengganjal pintu rumah.

Untung saja pemerintah kolonial peduli. Tergambar dari upaya pemugaran agar candi terbentuk kembali. Banyak candi masih bisa diketahui bentuk aslinya.

Namun banyak pula yang sulit dipugar karena batu-batunya sudah hilang entah ke mana. Sampai saat ini masih banyak candi hanya diketahui pondasi atau struktur bagian bawah saja. Entah bagaimana bentuk bagian atas.

Yang ironis, banyak arca dan relief sebagai bagian dari candi, dicuri maling barang antik sejak zaman kolonial. Banyak artefak dibawa ke mancanegara. Bahkan Raja Siam, pernah mendapat cendera mata beberapa gerobak bagian candi dari pemerintah kolonial.

Candi Bahal berciri Buddha di Sumatera Utara (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Candi Bahal berciri Buddha di Sumatera Utara (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Borobudur-Prambanan-Ratu Baka

Dari sekian banyak candi, yang paling mendapat perhatian adalah Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Candi Borobudur bersifat Buddha, sedangkan Candi Prambanan berciri Hindu. Kedua candi sudah menjadi warisan dunia. Ratu Baka yang terletak tidak jauh dari Prambanan juga terkena dampak positif. Keberadaannya sebagai obyek pariwisata, mendapat dukungan dari banyak pihak.

Baru tiga candi itu yang dikomersialkan secara besar-besaran. Investasinya juga miliaran rupiah. Keberadaan candi didukung atau ditunjang berbagai fasilitas. Berbicara investasi, tentu berbicara pariwisata dan keindahan.

Namun kalau pariwisata tidak terkontrol, bisa jadi akan seperti Borobudur. Batu-batu anak tangga semakin aus. Banyak relief juga rusak tergerus barang bawaan pengunjung. Karena khawatir semakin rusak, maka muncul wacana tiket menjadi Rp750.000.

Hal ini tentu menjadi momen bagus buat para pengelola candi-candi di luar Borobudur. Bahwa mengunjungi candi tidak hanya untuk berswafoto, duduk-duduk di stupa, membuang sampah ke lantai, atau melakukan vandalisme. Mereka harus mengambil nilai dari kearifan atau keterampilan nenek moyang kita dulu. Nah, manfaatkanlah momen Borobudur.

Di luar Jawa, candi banyak terdapat di Sumatera. Candi Bahal atau Biaro Bahal terdapat di Sumatera Utara. Di Sumatera Barat antara lain terdapat Candi Padang Roco dan Candi Pancahan.

Kompleks percandian yang cukup luas adalah Muaro Jambi di Provinsi Jambi. Sejak beberapa tahun lalu kompleks Muaro Jambi didaftarkan ke UNESCO untuk menjadi warisan dunia. Potensi candi di luar Jawa harus dikembangkan.

Salah satu candi di kompleks Muaro Jambi yang berciri Buddha (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Salah satu candi di kompleks Muaro Jambi yang berciri Buddha (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Batu bata

Belajar dari masalah Candi Borobudur, tentu peraturan harus benar-benar diterapkan pada berbagai candi bahwa pengunjung dilarang keras menaiki candi. Maklum, banyak candi terbuat dari batu bata. Bata memiliki daya tahan yang lebih rendah daripada batu andesit.

Candi-candi di Jawa Timur, terutama di Trowulan, tergolong rawan karena terbuat dari batu bata. Bisa dibayangkan kalau sepuluh orang yang tidak disiplin menaiki candi, tentu perlahan-lahan akan merusakkan batu bata tersebut.

Kompleks percandian Batujaya di Karawang sesungguhnya menarik. Umurnya dianggap lebih tua daripada Candi Borobudur. Namun, berbahan batu bata dan terletak dekat pantai sehingga membahayakan batu bata.

Kalau mau dikembangkan, prioritas utama kompleks percandian Muaro Jambi. Luas kompleks ini hampir 4.000 hektar dan sudah menjadi Kawasan Cagar Budaya Nasional.

Diperkirakan candi-candi di sini berasal dari abad ke-7-12 Masehi dari masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks Muaro Jambi paling besar dan paling terawat di Sumatera. April 2022 lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke sana.

Candi Brahu berciri Buddha di Jawa Timur (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)
Candi Brahu berciri Buddha di Jawa Timur (Foto: cagarbudaya.kemdikbud.go.id)

Masalah pada Borobudur harus menjadi momentum untuk mengemas wisata candi. Sebaiknya dipadu dengan teknologi modern yang kekinian.

Konservasi candi dan lingkungan candi amat penting karena dulu segala aktivitas berada di luar candi. Tak kalah penting adalah penyusunan narasi tentang candi, apalagi kalau di dekat candi pernah ditemukan prasasti. Replika prasasti perlu dibuat untuk memberi informasi kepada pengunjung.

Memang ada kompleks candi yang sulit dijangkau kendaraan. Seperti di kompleks Gunung Penanggungan, Jawa Timur, yang memiliki 100-an candi. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki dan butuh waktu cukup lama. Maka wisata petualangan sekaligus wisata sejarah dan wisata budaya bisa dikembangkan di sini.

Ada masalah, ada kreativitas. Bisa di teknologi, bisa di narasi atau pada hal-hal lain. Kalau tidak begitu, pengunjung ibaratnya hanya melihat tumpukan batu belaka. Kita harus benar-benar mengemas wisata candi dan mengembangkan potensi candi secara serius.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun