Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Tiket Borobudur, Semoga Perilaku Negatif Pengunjung akan Berubah

8 Juni 2022   07:55 Diperbarui: 9 Juni 2022   00:58 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 1980-an saya beberapa kali mengunjungi Candi Borobudur. Bukan untuk rekreasi, namun untuk penelitian. Seingat saya, saya ke sana pada Maret 1984, lalu ke sana lagi pada awal 1985. Saya lupa bulan apa, namun yang jelas setelah Candi Borobudur diledakkan orang tidak bertanggung jawab. Peledakan Borobudur terjadi pada Januari 1985.

Dulu untuk meneliti Borobudur harus melewati beberapa instansi. Pertama, saya harus ke Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) di Jalan Cilacap, Jakarta Pusat.

Dari sana saya harus ke Proyek Konservasi Candi Borobudur (PKCB) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Saya bertemu dengan Pimpinan PKCB Pak Hadimuljono.

Mulailah bersiap-siap menuju Borobudur. Saya naik bus dari terminal Pulogadung menuju Yogyakarta. Dulu transportasi masih agak susah.

Setelah pagi hari sampai terminal Yogyakarta, saya beristirahat sambil cari-cari makanan. Maklum saya harus meminta izin ke kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jawa Tengah di kompleks Candi Prambanan.

Pengunjung di atas stupa Kunta Bhima, 1985 (Dokpri)
Pengunjung di atas stupa Kunta Bhima, 1985 (Dokpri)

Karena kantor buka pukul 08.00, saya berangkat dari Yogya pukul 07.00. Kalau tidak salah, naik bus jurusan Yogya-Solo. "Jonggrang...Jonggrang," begitulah kata kondektur memberitahu saya. Di situlah saya turun.

Jonggrang atau lengkapnya Loro Jonggrang adalah nama lain buat Candi Prambanan. Penduduk lebih mengenal Jonggrang daripada Prambanan.

Saya segera menuju kantor SPSP Jawa Tengah. Kepala SPSP Jawa Tengah Pak I Gusti Ngurah Anom merangkap Koordinator Pelaksana Harian PKCB.

Setelah mendapat surat, saya menuju Muntilan. Dari Muntilan saya sambung dengan bus menuju Borobudur. Bus Ramayana amat dikenal pengunjung Borobudur.

Dari terminal Borobudur saya naik bus wira-wiri menuju Candi Borobudur. Di Candi Borobudur, saya menyerahkan surat kepada Pak Samidi. Lewat 'surat sakti' itulah saya dapat tinggal di mess selama dua minggu.

Ketika itu sedang ada pembongkaran rumah dan tanaman milik warga. Kelak akan menjadi taman wisata.

Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)
Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)

Upaya bunuh diri

Terasa sepi tinggal di mess Borobudur. Malam hari terasa gelap. Suasana masih sepi. Dalam mess itu tinggal seorang staf, Mas Achmad Suadi. Saya sering ngobrol dengan beliau. Juga bersama satpam yang piket malam. Ketika itu namanya Satpam Penjarpala. Singkatan satpam tentu sudah familiar. Nah Penjarpala? Ternyata Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Mereka cerita berbagai hal tentang Borobudur. Ada yang malam-malam naik ke stupa teratas untuk 'mencari' wangsit. Ada yang menabur bunga pada arca Kunta Bhima. Maklum mitos arca ini sudah populer. Bahkan ada upaya bunuh diri di atas candi dengan cara menjatuhkan diri.

Saya melakukan penelitian pada jam buka-tutup candi, pagi hingga sore. Sebelum ke halaman dan atas candi, saya cari sarapan terlebih dulu. Ada beberapa warung makan yang menjadi langganan. Sebelumnya cukup mahal makan di sini. Namun karena pemilik warung kenal dengan teman-teman Borobudur, maka kemudian tergolong cukup murah. "Ini tamu saya," kata mereka. Maka dapat berhematlah saya.

Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)
Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)

Di sela-sela ke lapangan, saya sempat main ke kantor. Banyak batu masih berserakan karena belum ketemu pasangannya. Begitu juga badan arca yang terpisah dengan kepala arca.

Dari teman-teman tim teknik dsb saya banyak belajar. Antara lain dari Mas Samidi, Mas Dukut, Mas Ismijono, Mas Aris Munandar, Mas Bambang, Mas Sadirin, dan Mas Parno. Masa 2000-an saya masih bertemu dengan teman-teman Borobudur itu di Jakarta.

Pada 1987 saya pernah kembali ke Candi Borobudur, namun kali ini untuk liputan. Ada sedikit perubahan dibandingkan kedatangan saya pada 1984 dan 1985. Terakhir saya ke sana pada Juni 2021. Namun karena dalam keadaan darurat Covid, saya tidak bisa naik candi.

Beberapa hari belakangan ini nama Candi Borobudur kembali mencuat. Ini karena masalah tiket Rp750.000. Yang jelas, pekerjaan memugar Candi Borobudur berlangsung bertahun-tahun dengan biaya amat sangat mahal.

Untuk itulah Candi Borobudur perlu dilestarikan oleh kita masyarakat masa kini, untuk masyarakat masa depan. Soal tiket bisa ditinjau ulang. Hanya soal kuota 1.200 orang per hari sudah harga mati.

Semoga dengan wacana ini, perilaku negatif pengunjung akan berubah. Terutama soal membuang sampah sembarangan dan aksi vandalisme. Tentu saja termasuk perilaku pada tinggalan purbakala lain yang terdapat pada berbagai daerah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun