Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal Tiket Borobudur, Semoga Perilaku Negatif Pengunjung akan Berubah

8 Juni 2022   07:55 Diperbarui: 9 Juni 2022   00:58 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari terminal Borobudur saya naik bus wira-wiri menuju Candi Borobudur. Di Candi Borobudur, saya menyerahkan surat kepada Pak Samidi. Lewat 'surat sakti' itulah saya dapat tinggal di mess selama dua minggu.

Ketika itu sedang ada pembongkaran rumah dan tanaman milik warga. Kelak akan menjadi taman wisata.

Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)
Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)

Upaya bunuh diri

Terasa sepi tinggal di mess Borobudur. Malam hari terasa gelap. Suasana masih sepi. Dalam mess itu tinggal seorang staf, Mas Achmad Suadi. Saya sering ngobrol dengan beliau. Juga bersama satpam yang piket malam. Ketika itu namanya Satpam Penjarpala. Singkatan satpam tentu sudah familiar. Nah Penjarpala? Ternyata Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Mereka cerita berbagai hal tentang Borobudur. Ada yang malam-malam naik ke stupa teratas untuk 'mencari' wangsit. Ada yang menabur bunga pada arca Kunta Bhima. Maklum mitos arca ini sudah populer. Bahkan ada upaya bunuh diri di atas candi dengan cara menjatuhkan diri.

Saya melakukan penelitian pada jam buka-tutup candi, pagi hingga sore. Sebelum ke halaman dan atas candi, saya cari sarapan terlebih dulu. Ada beberapa warung makan yang menjadi langganan. Sebelumnya cukup mahal makan di sini. Namun karena pemilik warung kenal dengan teman-teman Borobudur, maka kemudian tergolong cukup murah. "Ini tamu saya," kata mereka. Maka dapat berhematlah saya.

Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)
Berbagai dokumentasi tentang Candi Borobudur dalam bentuk contact print, 1985 (Dokpri)

Di sela-sela ke lapangan, saya sempat main ke kantor. Banyak batu masih berserakan karena belum ketemu pasangannya. Begitu juga badan arca yang terpisah dengan kepala arca.

Dari teman-teman tim teknik dsb saya banyak belajar. Antara lain dari Mas Samidi, Mas Dukut, Mas Ismijono, Mas Aris Munandar, Mas Bambang, Mas Sadirin, dan Mas Parno. Masa 2000-an saya masih bertemu dengan teman-teman Borobudur itu di Jakarta.

Pada 1987 saya pernah kembali ke Candi Borobudur, namun kali ini untuk liputan. Ada sedikit perubahan dibandingkan kedatangan saya pada 1984 dan 1985. Terakhir saya ke sana pada Juni 2021. Namun karena dalam keadaan darurat Covid, saya tidak bisa naik candi.

Beberapa hari belakangan ini nama Candi Borobudur kembali mencuat. Ini karena masalah tiket Rp750.000. Yang jelas, pekerjaan memugar Candi Borobudur berlangsung bertahun-tahun dengan biaya amat sangat mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun