Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Data Keausan Batu Candi Borobudur Menurut Penelitian 1985

7 Juni 2022   08:17 Diperbarui: 9 Juni 2022   00:59 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skripsi saya tentang Candi Borobudur 1985 (Dokumentasi pribadi) 

Soal tiket masuk Candi Borobudur Rp750.000 ramai diperbincangkan di media sosial. Semula orang menganggap tiket sebesar itu untuk memasuki kawasan taman wisata. Ternyata tiket sebesar itu untuk naik ke atas candi. Itu pun dibatasi hanya 1.200 orang. Ini tentu sesuai penelitian soal daya dukung tanah dan tingkat keausan/kerusakan batu.

Kini muncul perbincangan lain, soal 'kaya' dan 'miskin'. Buat banyak orang tentu Rp750.000 bernilai besar. Padahal banyak orang ingin sampai ke atas candi. Ada yang meminta pembatasan pengunjung perlu, namun tiket diturunkan. Taruhlah menjadi Rp100.000.

Syarat lain, pengunjung yang ingin sampai ke atas candi harus mendaftar secara daring. Jika kuota 1.200 sudah penuh, maka pengunjung bisa memilih waktu berikutnya. Begitu saya baca di media sosial.

Pembatasan pengunjung memang sangat diperlukan. Secara teori, semakin banyak pengunjung yang menaiki candi, semakin banyak keausan/kerusakan batu candi. UNESCO melalui Moe Chiba, sudah mewanti-wanti hal ini sejak lama. UNESCO 'campur tangan' karena turut berpartisipasi dalam pemugaran Candi Borobudur. Bahkan telah menetapkannya sebagai Warisan Dunia.

Skripsi saya tentang Candi Borobudur 1985 (Dokumentasi pribadi) 
Skripsi saya tentang Candi Borobudur 1985 (Dokumentasi pribadi) 

Keausan batu

Sebenarnya pembatasan pengunjung sudah dilontarkan sejak awal abad ke-20. Saya kutipkan tulisan Soekmono (1973), "Beberapa puluh tahun lalu panitia pemugaran pada masa Th. Van Erp pernah menganjurkan agar jumlah pengunjung dibatasi. Maksudnya tidak lain untuk memperkecil kerusakan-kerusakan mekanis yang disebabkan oleh manusia. Menurut panitia tadi sebaiknya para pengunjung dikelompokkan menjadi rombongan tidak lebih dari 20 orang. Setiap kelompok harus disertai dan diawasi oleh seorang petugas pemandu".

Pada 1985 saya pernah meneliti Candi Borobudur. Penelitian saya belum maksimal karena beberapa lantai ditutup. Ketika itu banyak batu rusak terkena bom. Pada Januari 1985 memang beberapa bom meledak di Candi Borobudur.

Ada beberapa hal yang saya amati. Saya hitung dan ukur kerusakan batu pada lantai, anak tangga (undak), dan stupa. Saya amati juga sampah di sana. Nah, inilah susahnya pengunjung. Sudah ada tempat sampah dan papan larangan membuang sampah, tetap saja banyak sampah di lantai.

Keausan batu pada undak menurut penelitian 1985 (Dokumentasi pribadi) 
Keausan batu pada undak menurut penelitian 1985 (Dokumentasi pribadi) 

Hal penting lain, tentang tingkah laku pengunjung, lama waktu kunjung, kecepatan berjalan, dan jenis alas kaki. Dulu belum ada ponsel, jadi belum ada istilah selfie. Umumnya pengunjung langsung naik ke teras arupadhatu yang banyak stupa untuk berfoto. Teras rupadhatu tempat berbagai relief cerita, hanya sepintas dilihat.

Hanya sepintas dilihat, tergambar dari kecepatan berjalan. Wisatawan nusantara berjalan lebih cepat dibandingkan wisatawan mancanegara yang berjalan lambat-lambat. Mereka rupanya ingin menikmati relief cerita. Dilihat dari lama waktu kunjung, wisatawan nusantara hanya sekitar 30 menit di atas candi. Sebaliknya wisatawan mancanegara sekitar 60 menit di atas candi.

Pada akhir skripsi antara lain saya mengusulkan pembatasan jumlah pengunjung yang menaiki candi. Ini untuk menjaga kelestarian candi. Bayangkan, semakin banyak pengunjung, semakin sering gesekan alas kaki dengan batu. Berarti batu semakin aus.

Saya baca di media sosial, soal pembatasan pengunjung, umumnya masyarakat sepakat. Hanya soal Rp750.000 perlu dipertimbangkan. Begitu juga soal siapa-siapa saja yang boleh menaiki candi sampai ke puncak.

Sebenarnya ada yang mengusulkan agar Candi Borobudur menjadi tempat ibadah. Perlu diketahui Borobudur tergolong 'monumen mati'. Bukan 'monumen hidup' seperti wihara yang sering dipakai oleh masyarakat masa sekarang.

Untuk peristiwa-peristiwa penting, boleh saja Candi Borobudur dipakai untuk kegiatan keagamaan. Hanya secara terbatas di luar jam kunjung candi. Itu pun tetap memperhatikan aturan-aturan kelestarian candi.

Semoga masyarakat yang berkunjung ke Candi Borobudur akan mendapat bekal pengetahuan. Jangan seperti berkunjung ke obyek wisata pantai atau naik gunung yang cuma bersenang-senang. Kita harapkan juga fasilitas pendukung seperti museum dan pusat informasi dilengkapi dengan teknologi kekinian.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun