Ketika sedang beberes buku-buku lama milik tante saya, saya menemukan sebuah bon pembelian buku berikut buku dan sampulnya. Rupanya buku itu dibeli tante saya pada 1962 di Jalan Gunung Sahari.
Tante saya memang pernah menjadi guru di sebuah sekolah di sekitar situ. Saya baru tahu kalau Gunung Agung mempunyai cabang di Jalan Gunung Sahari. Saya hanya tahu Gunung Agung berlokasi di Jalan Kwitang 6, tidak jauh dari perempatan Senen sekarang.
Pada 1970-an saya sering membeli buku di Gunung Agung. Ketika itu rumah saya di Jatinegara. Biasanya saya naik oplet ke sana. Waktu itu saya masih duduk di Sekolah Dasar.
Menjelang tahun ajaran baru, Gunung Agung sangat ramai. Maklum toko buku di Jakarta masih sedikit. Seingat saya, hingga 1980-an Gunung Agung merupakan toko buku terbesar dan terlengkap di Jakarta.Â
Bon pembelian
Belanja buku zaman dulu, beda sekali dengan zaman sekarang. Sekarang kita cuma pilih buku lalu bawa ke kasir.
Dulu kita memilih buku lalu membawa ke petugas. Lalu petugas mencatat dalam bon pembelian. Bon pembelian dibuat rangkap tiga memakai karbon. Kertas carbonless belum dikenal kala itu.
Kita sebagai pembeli mendapat bon asli. Selanjutnya kita membayar di kasir. Langkah terakhir adalah membawa bukti pembayaran ke tempat pengambilan barang. Dapat deh buku-buku yang kita pilih tadi.
Buku-buku itu dibungkus dengan kertas berlogo Gunung Agung. Jadi bukan kertas kosong. Maka ciri khas Gunung Agung selalu teringat. Kertas pembungkus buku, bisa kita gunakan untuk menyampul buku. Lumayan kan?
Kantong kresek
Menulis bon pembelian, membayar di kasir, lalu mengambil barang tentu membutuhkan waktu lama. Maka kemudian sistemnya diganti dengan langsung membayar di kasir. Oleh kasir, buku-buku yang kita beli dimasukkan ke dalam kantong kresek, tentu saja yang berlogo.
Seingat saya Toko Buku Gunung Agung semakin melebarkan sayap. Selain memiliki toko yang lebih besar, masih di bilangan Jalan Kwitang, toko itu membuka cabang di berbagai kota. Ketika booming pendirian mall, Toko Buku Gunung Agung juga memiliki toko di sana.
Lama-kelamaan muncul saingan. Tentu saja keberadaan Gunung Agung semakin terdesak. Akibatnya beberapa gerai Gunung Agung di beberapa kota tutup permanen. Kondisi semakin berat ketika bisnis daring semakin menjamur.
Toko Buku Gunung Agung berdiri pada 1953. Ketika itu Tjio Wie Tay (1927 - 1990) atau dikenal sebagai Haji Masagung, memulai sebuah kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, dan majalah dengan nama kemitraan Thay San Kongsie. Menurut laman tokogunungagung.com, ketika bisnis tumbuh lebih besar dan lebih kompleks di tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan, Haji Masagung mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung.
Semoga Gunung Agung yang masih eksis tetap bertahan menahan gempuran internet dan bisnis daring. Mencerdaskan anak bangsa melalui literasi memang penuh perjuangan.***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H