Menulis bon pembelian, membayar di kasir, lalu mengambil barang tentu membutuhkan waktu lama. Maka kemudian sistemnya diganti dengan langsung membayar di kasir. Oleh kasir, buku-buku yang kita beli dimasukkan ke dalam kantong kresek, tentu saja yang berlogo.
Seingat saya Toko Buku Gunung Agung semakin melebarkan sayap. Selain memiliki toko yang lebih besar, masih di bilangan Jalan Kwitang, toko itu membuka cabang di berbagai kota. Ketika booming pendirian mall, Toko Buku Gunung Agung juga memiliki toko di sana.
Lama-kelamaan muncul saingan. Tentu saja keberadaan Gunung Agung semakin terdesak. Akibatnya beberapa gerai Gunung Agung di beberapa kota tutup permanen. Kondisi semakin berat ketika bisnis daring semakin menjamur.
Toko Buku Gunung Agung berdiri pada 1953. Ketika itu Tjio Wie Tay (1927 - 1990) atau dikenal sebagai Haji Masagung, memulai sebuah kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, dan majalah dengan nama kemitraan Thay San Kongsie. Menurut laman tokogunungagung.com, ketika bisnis tumbuh lebih besar dan lebih kompleks di tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan, Haji Masagung mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung.
Semoga Gunung Agung yang masih eksis tetap bertahan menahan gempuran internet dan bisnis daring. Mencerdaskan anak bangsa melalui literasi memang penuh perjuangan.***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H