Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Celana Dalam yang Dilempar ke Atap Lebih Ampuh dari Pawang Hujan?

21 Maret 2022   17:19 Diperbarui: 21 Maret 2022   17:23 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai perhelatan motoGP di sirkuit Mandalika, Lombok, pawang hujan yang berpartisipasi dalam ajang itu menjadi pembicaraan hangat di berbagai media. Mbak Rara, nama pawang hujan itu, menjadi trending di dalam negeri dan mancanegara. Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap peran pawang hujan. Ada yang menganggap tradisi dan kearifan lokal. Ada yang menganggap klenik. Banyak komentar warganet terhadap mbak Rara.

Istilah pawang hujan mengacu kepada orang yang mampu memindahkan hujan dari satu tempat ke tempat lain. Ini dimaksudkan agar lokasi yang digunakan untuk acara/kegiatan untuk sementara bebas dari hujan. Biasanya jasa pawang hujan diperlukan ketika ada acara hajatan, konser musik, dan peresmian proyek besar. Bayangkan saja, ketika ada acara pernikahan turun hujan lebat. Bisa-bisa para undangan batal hadir sehingga acara hajatan menjadi sepi.

Begitu juga ketika berlangsung acara balap motor di Mandalika. Jika saja terjadi hujan saat acara berlangsung, bisa dipastikan banyak pebalap akan jatuh tergelincir di jalan yang licin. Untung saja hujan turun sebelum balapan dimulai sehingga jalanan menjadi bersih.

Pawang hujan sebenarnya merupakan kearifan lokal yang ada pada banyak etnis. Setau saja di Jakarta, Madura, Bali, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan ada pawang hujan, tentu dengan nama berbeda-beda. Profesi mereka tidak tetap dan sering kali dibayar secara sukarela.

Seperti halnya dukun, tidak sembarang orang mampu 'memindahkan awan'. Biasanya pawang hujan memiliki kemampuan lebih yang berasal dari turun-temurun.

Mbak Rara di sirkuit Mandalika (Sumber: AFP/Sonny Tumbelaka melalui cnnindonesia.com)
Mbak Rara di sirkuit Mandalika (Sumber: AFP/Sonny Tumbelaka melalui cnnindonesia.com)

Celana dalam

Ingat pawang hujan, saya jadi teringat masa kecil. Dulu kalau mendung dan mau bermain layang-layang, saya selalu menancapkan cabai merah dan bawang yang ditusuk lidi di atas tanah. Kadang-kadang membalikkan sapu lidi, artinya meletakkan gagang tempat pegangan di bawah. Saya lupa apakah terjadi hujan ataukah tidak.

Di masa kuliah, ketika sedang melakukan penelitian arkeologi di lapangan, lain lagi cara menangkal hujan. Ini keisengan yang luar biasa. Beberapa teman, tentu saja pria, mengangkati celana dalam wanita dari tali jemuran. Setelah itu mereka melempari celana dalam tersebut ke atas pohon dan ke atas atap rumah. Jadilah pemandangan yang luar biasa.

Dipercaya, celana dalam yang dilempar ke atap lebih ampuh dari pawang hujan. Ini fakta atau mitos, entahlah.

Uniknya, celana dalam tersebut dibiarkan berhari-hari di atas pohon dan atap rumah. Tentu saja banyak yang merasa malu kalau mengakui itu celana dalam miliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun