Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pada Abad ke-9 Seniman Jalanan Memperoleh Honorarium dan Membayar Pajak

19 Maret 2022   15:50 Diperbarui: 20 Maret 2022   08:33 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan alat musik di kalangan rakyat dan bangsawan di Jawa pada masa lampau, biasanya terdapat dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan seorang pejabat sehubungan dengan upacara peresmian sima.

Sima adalah tanah yang dicagarkan. Prasasti Gandasuli II (827 M), Waharu (873 M), Kuti (840 M), dan Sri Kahulunan (842 M) sampai kini masih dianggap sumber tertua yang menyebutkan adanya alat musik. 

Dalam prasasti-prasasti itu antara lain diungkapkan bahwa tidak sembarang orang boleh memainkan curing (suling). Diisyaratkan, yang diperkenankan membunyikannya hanya orang-orang yang mendapatkan anugerah raja atau hak-hak istimewa.

Dikatakan lagi, pemain curing yang telah memperoleh izin raja, boleh memainkan alat musik itu semalam suntuk hingga dua hari dua malam, atau siang dan malam hari. Dibayar atau tidaknya para pemain musik itu, kita tidak tahu. Keterangan yang lebih jelas diperoleh dari Prasasti Lintakan (919 M).

Menurut prasasti ini, pemain musik tuwung dan regang mendapatkan imbalan atau hadiah. Entah berapa besar hadiah yang mereka terima.

Honorarium untuk pemain musik disebutkan oleh Prasasti Julah (987 M) dari Bali. Pada bagian awal, prasasti itu menginformasikan adanya beberapa rombongan seni, baik i haji (untuk raja) maupun ambaran (keliling) yang datang ke desa Julah.

Pada bagian selanjutnya dikatakan para seniman mendapatkan upah atas hasil jerih payah mereka. Imbalan untuk agending i haji sebesar satu masaka, sedangkan untuk agending ambaran dua kupang.

Yang unik prasasti Tejakula dari zaman pemerintahan Ragajaya, memuat keterangan bahwa setiap rombongan seni harus membayar pajak kepada para kepala desa Labapura.

Dikatakan, perkumpulan gamelan galunggung ptung, selunding wsi, dan calung di desa harus membayar pajak tikasan. Bila selunding, pajaknya satu ma setiap perkumpulan. Membayar pajak ternyata harus dilakukan juga oleh seniman jalanan pada zaman dulu.

Lihat beberapa tulisan sebelumnya tentang musik zaman dulu

[Musik zaman dulu 1]
[Musik zaman dulu 2]

Rakyat jelata dan bangsawan

Adanya alat musik juga disebutkan dalam sejumlah kakawin dan naskah kuno. Kakawin Ramayana antara lain melukiskan adanya suling, lute, bar-zither, gendang bercela, sangkha, dan terompet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun