Sejak era digital dan media sosial, kita hampir selalu mendengar kegaduhan di masyarakat. Sering kali kegaduhan itu disebabkan oleh ketersinggungan atau ketidaksenangan satu golongan kepada golongan lain.Â
Suasana paling gaduh terjadi menjelang pilkada di berbagai daerah. Baru-baru ini juga terjadi kegaduhan terhadap wayang. Sejumlah media daring dan media sosial menulis bahwa ada sekelompok orang mengharamkan wayang. Apakah salah kutip atau salah tulis, silakan cari saja di internet.
Saya tidak ingin membuat kegaduhan soal wayang. Saya hanya ingin memberi informasi bahwa J.L.A. Brandes (13 Januari 1857 -- 26 Juni 1905) pernah berpendapat tentang 10 anasir budaya asli nenek moyang kita yang sudah ada sebelum pengaruh Hindu-Buddha masuk ke Nusantara, antara lain batik, wayang, gamelan, dan astronomi.Â
Brandes adalah seorang filolog (ahli bahasa kuno), kolektor barang kuno, dan leksikografer (ahli penyusun kamus bahasa langka) berkebangsaan Belanda. Ia pernah menjabat Komisi Hindia-Belanda untuk Penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura.
Batik, wayang, dan gamelan sudah menjadi Warisan Dunia. Nah, inilah yang membanggakan kita akan prestasi nenek moyang yang masih tetap dilestarikan sampai kini.
Mengagungkan wayang
Berbeda dengan situasi akhir-akhir ini, dulu pemerintah pendudukan Hindia-Belanda malah mengagungkan wayang. Pada masa itu (1934-1939) De Javasche Bank (cikal bakal Bank Indonesia) mengeluarkan beberapa emisi uang kertas bergambar wayang orang, yakni nominal 5 Gulden, 10 Gulden, 25 Gulden, 50 Gulden, 100 Gulden, 200 Gulden, 500 Gulden, dan 1000 Gulden. Setiap nominal memiliki gambar wayang orang berbeda.
Di kalangan kolektor mata uang yang lazim disebut numismatis, mata-mata uang itu dikenal sebagai Seri Wayang. Ada nominal kecil, yakni 5 sampai 50 Gulden. Ada nominal besar, dari 100 hingga 1000 Gulden. Nominal besar memiliki harga jual lebih tinggi daripada nominal kecil. Apalagi kalau sudah diserttifikasi oleh lembaga grading international PMG.
Pemerintah pendudukan Jepang (1943) juga pernah mengeluarkan uang kertas bergambar wayang orang. Pada nominal Rp 10 terlihat gambar seorang penari wayang orang, dilengkapi tulisan "Dai Nippon Teikoku Seihu". Bagian belakangnya bergambar arca Buddha dan stupa.
Pada nominal Rp 100 terdapat gambar arca Wisnu di atas garuda (bagian depan) dan Arjuna dalam ujud wayang kulit (bagian belakang).
Sebenarnya pemerintah pendudukan Jepang juga mengeluarkan uang kertas bertuliskan "De Japansche Regeering" (1942) dan "Pemerintah Dai Nippon" (1944-1945). Namun tidak ada yang bergambar wayang.
Selain pada uang kertas, gambar wayang terdapat pada uang logam atau koin yang disebut gobog wayang (magic coins). Biasanya gobog wayang untuk keperluan ritual keagamaan.
Nah begitulah kisah singkat tentang uang kertas bergambar wayang. Boleh dikatakan sungguh ironis, bangsa sendiri mengharamkan wayang, bangsa asing malah mengagungkan wayang.***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H