Saat DKI Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), pembangunan fisik gencar dilaksanakan. Halte bus, misalnya, tadinya hanya berbentuk tiang dengan gambar bus. Kemudian diganti berbentuk shelter, agar calon penumpang tidak kepanasan atau kehujanan. Bahkan diberi penerangan untuk melawan gelap di malam hari.
Pembangunan berbagai tempat rekreasi, terlebih yang dihubungkan dengan judi, mulai ada di mana-mana. Mungkin waktunya tidak begitu jauh dengan pacuan kuda Pulo Mas, yang tulisannya bisa dibaca [DI SINI], dibangun arena olahraga bola dinding asal Spanyol. Jai Alai, begitulah nama olahraga tersebut. Karena dibaca hai lai, maka nama Gedung Hai Lai di Ancol, amat populer.
Seingat saya Gedung Hai Lai mulai berfungsi pada 1971. Soalnya tidak lama setelah peresmian saya diajak ke sana. Ketika itu saya masih di bangku SD. Â Â
Boleh dibilang Hai Lai adalah sebuah klub eksekutif berskala internasional. Banyak hiburan di tempat itu, termasuk kasino, diskotik, dan nigth club. Â Sejak adanya night club, istilah hostess populer di Jakarta.
Pelota
Saya pernah beberapa kali ke Gedung Hai Lai untuk menonton olahraga mirip squash. Yah, jai alai itu. Jai Alai, permainan bola yang berasal dari Spanyol, dimainkan di arena tiga dinding dengan sebuah bola karet yang ditangkap dan dilempar kembali dengan cesta, seperti gauntlet berbentuk sekop cekung ke dalam untuk menangkap lalu kembali melesatkan bolanya. Di Spanyol, disebut sebagai pelota vasca, sebagaimana wikipedia.
Prinsip permainannya sederhana. Pemain serve bola ke tembok di depan dan harus mendarat di zona serving, layaknya badminton. Kalau bermain tunggal, ke zona lawan, lalu lawan harus menangkap dan mengembalikan bolanya sebelum menyentuh lantai lebih dari sekali. Bola ditangkap dan dilempar kembali dengan sekali gerakan.Â
Golnya adalah memantulkan bola ke dinding dengan kecepatan tinggi dan lawan gagal menangkap, untuk mendapatkan satu poin. Permainan berlanjut hingga bolanya miss atau keluar dari lapangan pertandingan. Dan itu ditandakan dengan tanda merah di tembok depan atau garis sisi lapangan.Â
Seingat saya, dulu ada permainan tunggal dan ganda. Setiap babak dinyatakan selesai apabila seorang pemain atau tim, menang sebanyak 5 kali atas lawan yang berlainan.
Contohnya demikian, pertandingan itu diikuti 6 pemain, taruhlah Pemain A, B, C, D, E, dan F. Jika A menang lawan B, lalu B keluar dan digantikan C, dst. A pun menang lawan C. Begitulah berurutan. Setiap babak bisa berlangsung cukup singkat, bisa pula butuh waktu cukup lama.
Nah, setiap pemain memakai nomor. Di sinilah unsur judi sangat tampak. Sebelum pertandingan, saat pemanasan, penonton akan diinformasikan nama-nama pemain. Semuanya berbau Spanyol, seperti Juan dan Pedro. Saat itulah penonton bisa menuju loket untuk memasang nomor taruhan siapa yang keluar sebagai pemenang.
Kabarnya, pajak dari Gedung Hai Lai amat besar. Bisa dipakai untuk mempercantik wajah Jakarta. Entah sampai kapan permainan jai alai berlangsung di sana.
Beberapa tahun kemudian, kemungkinan 1975 atau 1976, saya pernah diajak teman-teman sekolah untuk bermain boling di sana. Rupanya fasilitas tambahan sudah dibangun. Tapi saya urung bermain boling karena tidak mau bolos sekolah. Namanya juga anak teladan, hehehe...
Rupanya setelah Ali Sadikin turun takhta, segala bentuk perjudian diharamkan. Maka arena jai alai ditutup. Entah apa fungsi Gedung Hai Lai selanjutnya. Pada 2000-an saya pernah kondangan, namanya Hai Lai Executive Club. Akhir 2019 saya mendengar kabar Gedung Hai Lai terbakar. Sekarang tak ada lagi sisa-sisanya. Hanya sedikit cerita dan foto dokumentasi yang tertinggal untuk generasi masa kini dan generasi mendatang.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H