Sekitar 1981 saya mendapat beberapa lembar uang kertas lama dari ibu saya. Seingat saya uang-uang itu bergambar harimau dan gajah.Â
Setelah itu saya mendapat lagi tiga lembar uang Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam bayangan saya, wah bakalan kaya raya nih punya beberapa lembar uang lama.
Setiap ibu beberes, ternyata dapat uang-uang lama, baik uang kertas maupun uang logam (koin).Â
Ada yang tampak belum pernah dipakai, karena kertasnya kaku, bahkan dengan nomor seri urut. Ada yang masih bersih karena logamnya berkilau. Ada juga yang bertanda bekas lipatan atau dengan karat kecil.
Ikut lelang
Saya terus mencoba cari tahu tentang uang-uang lama tersebut. Pada 1986 atau 1987 (?) saya baca di koran ada pameran uang-uang lama di Erasmus Huis di kawasan Kuningan.Â
Saya pun mampir ke sana. Di sana saya mendapat informasi bahwa setiap periodik ada kegiatan oleh Perhimpunan Penggemar Koleksi Mata Uang (PPKMU).
Dari kegiatan PPKMU itulah saya baru tahu bahwa tidak semua uang lama berharga mahal. Ketika itu PPKMU menyelenggarakan arisan mata uang setiap dua bulan.Â
Dalam arisan dijual berbagai koleksi mata uang dengan sistem lelang. Saya sering ikut lelang dan mendapat koleksi dengan harga cukup murah.Â
Seri Sudirman nominal Rp 1 hingga Rp 1.000, misalnya, saya dapatkan dengan harga Rp 6.000. Itu untuk kondisi bagus yang dalam numismatik dikenal sebagai Unc (Uncirculated).
Banyak uang logam pun saya peroleh dengan harga cukup murah. Tentu untuk ukuran sekarang, hehehe... Yang paling penting, saya bisa belajar dari para kolektor senior seperti M.A. Affendi, Kornel Karwenda, Sani Sanusi, dll.
Di samping mengoleksi saya pun menulis. Mungkin saya lah yang paling sering membumikan dunia numismatik. Saya menulis numismatik di tabloid Mutiara dan koran Sinar Harapan (yang kemudian menjadi Suara Pembaruan).
Karena sering menulis, nama saya jadi dikenal. Dampaknya saya dianggap 'kolektor hebat'. Beberapa kali saya dihubungi stasiun televisi. Mereka akan membuat liputan tentang dunia numismatik.Â
Terus terang, koleksi saya belumlah seberapa. Pengetahuan saya pun masih minim. Belum ada koleksi yang tergolong aduhai dan berharga fantastis. Koleksi saya masih biasa-biasa saja.
Uang di Nusantara
Untuk wawancara di televisi, saya segera menghubungi beberapa kolektor senior. Saya tahu kolektor-kolektor itu punya koleksi joss. Akhirnya mereka tampil di stasiun televisi. Beberapa tayangan bisa dilihat di kanal Youtube.
Yah, dalam berkoleksi kita tidak perlu memaksa. Sesuaikan dengan kemampuan kantong kita. Kolektor senior pun belum tentu mempunyai koleksi lengkap. Uang memang ada, tapi koleksi yang sesuai belum nongol.
Koleksi uang-uang yang pernah beredar di Nusantara ternyata amat sangat banyak. Pada zaman yang paling tua, beredar semacam uang yang disebut uang primitif atau alat barter, contohnya manik-manik, bijian-bijian, dan logam.
Kemudian ada uang dari masa kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang kebanyakan berbahan emas dan perak. Dari masa kerajaan atau kesultanan Islam, kita memperoleh banyak koin. Selain emas dan perak, ada koin berbahan timah atau tembaga.
Masa kolonial juga meninggalkan jejak banyak koin dan uang kertas, antara lain bertuliskan Nederlandsch-Indie dan Javasche Bank.Â
Belum lagi uang bonk dan token. Zaman republik masa 1945-1949 memperkaya kita dengan ORI dan ORIDA. Betapa banyaknya uang yang pernah beredar di Nusantara.
Dikasih kerabat
Karena para kerabat tahu kalau saya mengoleksi uang lama, maka kalau nemu koleksi, mereka memberikan kepada saya. Pernah saya dikasih kipas kertas yang terbuat dari uang emisi 1962. Kondisi uang tersebut masih oke, dengan nomor seri urut. Namun karena sudah terlipat, jadi kualitasnya berkurang.
Pernah dikasih banyak koin Nederlandsch-Indie berikut brankas kecil. Dulu pada masa pendudukan Jepang, brankas tersebut ditanam di belakang rumah. Keluarga kakek takut pada tentara Jepang yang dianggap kejam.
Koin-koin tersebut berbahan tembaga dan perak. Yang tembaga banyak berkarat. Nah, ini buat latihan konservasi logam. Koin perak masih lumayan bagus.
Koleksi uang kertas dan koin tersebut saya simpan dalam album khusus. Yah lumayanlah sebagai benda investasi untuk masa depan. Siapa tahu beberapa tahun lagi akan berharga miliaran rupiah.Â
Dengan demikian saya akan dijuluki 'Sultan Gading', hehehe... Namun bagi saya yang penting sebagai obat stres dan bahan pembelajaran.Â
Itulah sebabnya saya tidak pernah meng-grading koleksi saya dengan membayar sejumlah biaya. Toh hanya buat iseng-iseng termasuk untuk bahan tulisan mengingat masih saja masyarakat awam percaya kepada berita-berita hoaks tentang 'uang kuno berharga mahal'. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H