Banyak uang logam pun saya peroleh dengan harga cukup murah. Tentu untuk ukuran sekarang, hehehe... Yang paling penting, saya bisa belajar dari para kolektor senior seperti M.A. Affendi, Kornel Karwenda, Sani Sanusi, dll.
Di samping mengoleksi saya pun menulis. Mungkin saya lah yang paling sering membumikan dunia numismatik. Saya menulis numismatik di tabloid Mutiara dan koran Sinar Harapan (yang kemudian menjadi Suara Pembaruan).
Karena sering menulis, nama saya jadi dikenal. Dampaknya saya dianggap 'kolektor hebat'. Beberapa kali saya dihubungi stasiun televisi. Mereka akan membuat liputan tentang dunia numismatik.Â
Terus terang, koleksi saya belumlah seberapa. Pengetahuan saya pun masih minim. Belum ada koleksi yang tergolong aduhai dan berharga fantastis. Koleksi saya masih biasa-biasa saja.
Uang di Nusantara
Untuk wawancara di televisi, saya segera menghubungi beberapa kolektor senior. Saya tahu kolektor-kolektor itu punya koleksi joss. Akhirnya mereka tampil di stasiun televisi. Beberapa tayangan bisa dilihat di kanal Youtube.
Yah, dalam berkoleksi kita tidak perlu memaksa. Sesuaikan dengan kemampuan kantong kita. Kolektor senior pun belum tentu mempunyai koleksi lengkap. Uang memang ada, tapi koleksi yang sesuai belum nongol.
Koleksi uang-uang yang pernah beredar di Nusantara ternyata amat sangat banyak. Pada zaman yang paling tua, beredar semacam uang yang disebut uang primitif atau alat barter, contohnya manik-manik, bijian-bijian, dan logam.
Kemudian ada uang dari masa kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang kebanyakan berbahan emas dan perak. Dari masa kerajaan atau kesultanan Islam, kita memperoleh banyak koin. Selain emas dan perak, ada koin berbahan timah atau tembaga.
Masa kolonial juga meninggalkan jejak banyak koin dan uang kertas, antara lain bertuliskan Nederlandsch-Indie dan Javasche Bank.Â
Belum lagi uang bonk dan token. Zaman republik masa 1945-1949 memperkaya kita dengan ORI dan ORIDA. Betapa banyaknya uang yang pernah beredar di Nusantara.