Banyak orang bertanya ke saya bagaimana supaya nembus Kompas. Terus terang, tulisan saya lebih banyak ditolak daripada masuk Kompas. Dalam surat penolakan tertulis "Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami, kesulitan mendapatkan tempat". Pertimbangan lain "Kurang urgen untuk saat ini".
Sesungguhnya tulisan arkeologi lebih cenderung bersifat feature. Banyak cerita yang bisa terungkap dari sebuah kepurbakalaan. Namun sayang karena rubrik tersebut lebih diutamakan untuk wartawan Kompas sendiri maka jadilah saya mendapatkan jawaban "kesulitan mendapatkan tempat".
Untuk penulis luar, memang tersedia rubrik 'Opini'. Setiap terbitan ada 2-5 tulisan 'Opini' yang bisa kita baca. Ragam topik tersaji dalam rubrik itu. Maklum penulisnya bergelar doktor atau profesor. Saya cuma sesekali terselip di antara orang-orang pintar itu.
Beberapa tahun lalu, banyak tulisan saya yang tidak bisa dimuat Kompas cetak ditawarkan untuk masuk Kompas siang dalam bentuk digital. Yah saya sih setuju saja. Yang penting bisa dibaca banyak orang.
Sejak 2019 Kompas mengembangkan kompas.id. Nah, tulisan yang dimuat Kompas cetak selalu dimuat ulang dalam kompas.id. Namun rupanya kompas.id memberikan kesempatan luas kepada para penulis. Maka tulisan yang tidak dimuat Kompas cetak dimuat pada kompas.id. Tentu yang sudah melalui seleksi redaksi.
Kiat menulis di Kompas
Kiat menulis di Kompas cukup sederhana. Pelajari gaya bahasa untuk rubrik 'Opini'. Gunakan bahasa populer dan tentu saja formal atau baku. Beda dengan gaya bahasa Kompasiana yang cenderung bahasa nonformal atau bahasa gaul.
Tulisan harus mempertimbangkan masyarakat umum, bukan segelintir masyarakat karena tulisan demikian lebih cocok untuk jurnal. Untuk menulis arkeologi, misalnya, kita harus berbicara kekunoan dan kekinian. Tulislah sesegera mungkin kalau ada kasus, mumpung masalah masih aktual.
Berkali-kali saya bilang kepada para arkeolog yang berkecimpung di dunia pendidikan, penelitian, pelestarian, dsb, cobalah menulis di koran. Mereka lebih tahu masalah daripada saya. Dengan demikian masyarakat akan mendapat informasi dan edukasi yang benar. Apalagi arkeologi bersinggungan dengan masyarakat sebagaimana terjadi pada kasus pencurian, penemuan, dan pengrusakan. Kalau saya kan cuma 'arkeolog numpang lewat' alias 'arkeolog tanpa kantor' atau 'arkeolog pejuang mandiri'. Â
Menulis adalah pekerjaan intelektual. Belum tentu banyak orang pintar mampu menulis di koran. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dengan menulis, nama kita dikenal dan dikenang. Coba saja tulis nama saya di mesin pencari Google, maka keluar cukup banyak.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H