Di antara banyak media cetak, utamanya koran, Kompas merupakan media terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Sebagai koran terbesar, tentu saja Kompas dibaca oleh masyarakat dari berbagai profesi. Sering kali orang memandang Kompas sebagai koran untuk golongan menengah ke atas. Â
Seingat saya Kompas sudah beredar sejak 1965. Lambat-laun dengan manajemen yang baik, Kompas menjadi koran pagi ternama. Rasanya belum membaca koran kalau kita belum membaca Kompas.
Sebelum tumbuh era internet, Kompas terbit cukup tebal. Karena itu banyak iklan, yang merupakan sumber utama pendapatan. Juga banyak rubrik terdapat di dalamnya.
Menulis di Kompas
Seperti halnya membaca, orang pun belum merasa menulis kalau belum menembus Kompas. Memang menulis di Kompas perlu kesabaran tinggi. Banyak orang ingin selalu menulis di Kompas. Sejak lama penulis Kompas rata-rata dari kalangan akademisi, peneliti, intelektual, cendekiawan, dan orang-orang pintar lain. Kita bisa lihat profesi si penulis di bawah judul tulisan. Rektor ITB, Dosen FISIP UI, Peneliti LIPI, Praktisi Hukum, Staf Ahli DPR, Menteri Hukum dan HAM, dan orang-orang hebat lain.
Saya sendiri cukup bingung. Akademisi bukan, peneliti bukan, disebut orang pintar masih jauh, intelektual apalagi. Akhirnya saya suka tulis berganti-ganti, kadang "Lulusan Jurusan Arkeologi UI" dan kadang "Penulis Lepas". Sesekali "Pegiat Komunitas".
Sebagai lulusan jurusan arkeologi, tentu saja saya menulis tentang arkeologi dan museum. Di antara seabreg-abreg lulusan jurusan arkeologi---program studi arkeologi ada di 6 PTN---sayalah yang paling sering nulis di Kompas. Karena nama saya sering nongol, jadilah saya dipandang 'arkeolog hebat'. Apalagi menulis di kolom 'Opini', kolom di Kompas yang dipandang paling bergengsi. Soalnya kebanyakan penulis 'Opini' adalah orang berkompeten di bidang tertentu.
Rubrik Opini
Entah berapa banyak masyarakat awam yang pernah menghubungi saya untuk berbagai keperluan. Entah berapa banyak wartawan yang pernah meminta komentar saya tentang masalah kepurbakalaan. Semuanya karena tulisan arkeologi dari 'arkeolog hebat'. Bahkan banyak media sering minta tulisan ke saya.
Dulu Kompas memiliki banyak rubrik. Tulisan-tulisan saya pernah masuk di rubrik Metropolitan, Nusantara, Anak, Muda, Teropong, Sorotan, Didaktika, dan Opini. Saya sih terserah mau dimasukkan ke rubrik apa. Yang penting honorariumnya lumayan, hehehe...
Banyak orang bertanya ke saya bagaimana supaya nembus Kompas. Terus terang, tulisan saya lebih banyak ditolak daripada masuk Kompas. Dalam surat penolakan tertulis "Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami, kesulitan mendapatkan tempat". Pertimbangan lain "Kurang urgen untuk saat ini".
Sesungguhnya tulisan arkeologi lebih cenderung bersifat feature. Banyak cerita yang bisa terungkap dari sebuah kepurbakalaan. Namun sayang karena rubrik tersebut lebih diutamakan untuk wartawan Kompas sendiri maka jadilah saya mendapatkan jawaban "kesulitan mendapatkan tempat".
Untuk penulis luar, memang tersedia rubrik 'Opini'. Setiap terbitan ada 2-5 tulisan 'Opini' yang bisa kita baca. Ragam topik tersaji dalam rubrik itu. Maklum penulisnya bergelar doktor atau profesor. Saya cuma sesekali terselip di antara orang-orang pintar itu.
Beberapa tahun lalu, banyak tulisan saya yang tidak bisa dimuat Kompas cetak ditawarkan untuk masuk Kompas siang dalam bentuk digital. Yah saya sih setuju saja. Yang penting bisa dibaca banyak orang.
Sejak 2019 Kompas mengembangkan kompas.id. Nah, tulisan yang dimuat Kompas cetak selalu dimuat ulang dalam kompas.id. Namun rupanya kompas.id memberikan kesempatan luas kepada para penulis. Maka tulisan yang tidak dimuat Kompas cetak dimuat pada kompas.id. Tentu yang sudah melalui seleksi redaksi.
Kiat menulis di Kompas
Kiat menulis di Kompas cukup sederhana. Pelajari gaya bahasa untuk rubrik 'Opini'. Gunakan bahasa populer dan tentu saja formal atau baku. Beda dengan gaya bahasa Kompasiana yang cenderung bahasa nonformal atau bahasa gaul.
Tulisan harus mempertimbangkan masyarakat umum, bukan segelintir masyarakat karena tulisan demikian lebih cocok untuk jurnal. Untuk menulis arkeologi, misalnya, kita harus berbicara kekunoan dan kekinian. Tulislah sesegera mungkin kalau ada kasus, mumpung masalah masih aktual.
Berkali-kali saya bilang kepada para arkeolog yang berkecimpung di dunia pendidikan, penelitian, pelestarian, dsb, cobalah menulis di koran. Mereka lebih tahu masalah daripada saya. Dengan demikian masyarakat akan mendapat informasi dan edukasi yang benar. Apalagi arkeologi bersinggungan dengan masyarakat sebagaimana terjadi pada kasus pencurian, penemuan, dan pengrusakan. Kalau saya kan cuma 'arkeolog numpang lewat' alias 'arkeolog tanpa kantor' atau 'arkeolog pejuang mandiri'. Â
Menulis adalah pekerjaan intelektual. Belum tentu banyak orang pintar mampu menulis di koran. Menulis adalah bekerja untuk keabadian, seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dengan menulis, nama kita dikenal dan dikenang. Coba saja tulis nama saya di mesin pencari Google, maka keluar cukup banyak.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H