Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kiat Menulis di Kompas, Pelajari Gaya Bahasa dan Gunakan Bahasa Populer

31 Desember 2021   09:04 Diperbarui: 31 Desember 2021   09:22 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara banyak media cetak, utamanya koran, Kompas merupakan media terbesar di Indonesia bahkan Asia Tenggara. Sebagai koran terbesar, tentu saja Kompas dibaca oleh masyarakat dari berbagai profesi. Sering kali orang memandang Kompas sebagai koran untuk golongan menengah ke atas.  

Seingat saya Kompas sudah beredar sejak 1965. Lambat-laun dengan manajemen yang baik, Kompas menjadi koran pagi ternama. Rasanya belum membaca koran kalau kita belum membaca Kompas.

Sebelum tumbuh era internet, Kompas terbit cukup tebal. Karena itu banyak iklan, yang merupakan sumber utama pendapatan. Juga banyak rubrik terdapat di dalamnya.

Ilustrasi: tulisan saya di kompas.id (Dokpri)
Ilustrasi: tulisan saya di kompas.id (Dokpri)

Menulis di Kompas

Seperti halnya membaca, orang pun belum merasa menulis kalau belum menembus Kompas. Memang menulis di Kompas perlu kesabaran tinggi. Banyak orang ingin selalu menulis di Kompas. Sejak lama penulis Kompas rata-rata dari kalangan akademisi, peneliti, intelektual, cendekiawan, dan orang-orang pintar lain. Kita bisa lihat profesi si penulis di bawah judul tulisan. Rektor ITB, Dosen FISIP UI, Peneliti LIPI, Praktisi Hukum, Staf Ahli DPR, Menteri Hukum dan HAM, dan orang-orang hebat lain.

Saya sendiri cukup bingung. Akademisi bukan, peneliti bukan, disebut orang pintar masih jauh, intelektual apalagi. Akhirnya saya suka tulis berganti-ganti, kadang "Lulusan Jurusan Arkeologi UI" dan kadang "Penulis Lepas". Sesekali "Pegiat Komunitas".

Sebagai lulusan jurusan arkeologi, tentu saja saya menulis tentang arkeologi dan museum. Di antara seabreg-abreg lulusan jurusan arkeologi---program studi arkeologi ada di 6 PTN---sayalah yang paling sering nulis di Kompas. Karena nama saya sering nongol, jadilah saya dipandang 'arkeolog hebat'. Apalagi menulis di kolom 'Opini', kolom di Kompas yang dipandang paling bergengsi. Soalnya kebanyakan penulis 'Opini' adalah orang berkompeten di bidang tertentu.

Ilustrasi: nama saya muncul lewat mesin pencari Google (Dokpri)
Ilustrasi: nama saya muncul lewat mesin pencari Google (Dokpri)

Rubrik Opini

Entah berapa banyak masyarakat awam yang pernah menghubungi saya untuk berbagai keperluan. Entah berapa banyak wartawan yang pernah meminta komentar saya tentang masalah kepurbakalaan. Semuanya karena tulisan arkeologi dari 'arkeolog hebat'. Bahkan banyak media sering minta tulisan ke saya.

Dulu Kompas memiliki banyak rubrik. Tulisan-tulisan saya pernah masuk di rubrik Metropolitan, Nusantara, Anak, Muda, Teropong, Sorotan, Didaktika, dan Opini. Saya sih terserah mau dimasukkan ke rubrik apa. Yang penting honorariumnya lumayan, hehehe...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun