Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koin Kesultanan, Si Hitam Manis untuk Menyusun Sejarah

26 November 2021   08:56 Diperbarui: 26 November 2021   09:07 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga tulisan berikut [di sini].

Dari buku Kesultanan Kutai, misalnya ada tulisan berikut, "Untuk kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Samarinda pada tahun 1870, sultan memungut uang labuh sebesar f.17 bagi setiap kapal tanpa memperhatikan negara asal kapal itu". Sayang tidak disebutkan nama mata uangnya, namun dari kata f.17 mungkin maksudnya 17 gulden. Apakah Kesultanan Kutai memakai mata uang Belanda, ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Buku-buku tentang kerajaan/kesultanan (Dokpri)
Buku-buku tentang kerajaan/kesultanan (Dokpri)

Dari buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial ada kalimat cukup menarik. "Beberapa faktor yang sama mempengaruhi perdebatan tentang berbagai persetujuan menyangkut pencetakan koin tembaga. Pada April 1836, Boers menerima perintah dari Batavia untuk menekan Facharuddin agar melarang impor koin tembaga dari Singapura. Menurut laporan yang masuk, sultan membeli koin seharga 120 penny untuk satu gulden dengan nilai tukar 180 penny terhadap gulden---menggunakan uang yang berasal dari kontraknya dengan Belanda," (halaman 94).

Lalu dikatakan, "Fachruddin merespons dengan cepat dan positif. Dia bersedia menghentikan impor koin dari Singapura, untuk mengakui hanya mata uang Belanda yang berlaku di Muara Kompeh, dan mendorong peredarannya di bagian-bagian lain wilayah kekuasaannya" (halaman 95).

Nah, mata uang ini harus menjadi perhatian: koin tembaga dan mata uang Belanda. Sebagai artefak arkeologi, tidak perlu dalam kondisi bagus. Yang penting data tekstual dan data piktorial teridentifikasi. Semoga koin-koin itu ada di museum lokal sehingga generasi sekarang dan masa mendatang tidak hanya membaca tulisan tetapi juga melihat bukti fisiknya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun