Baca juga tulisan berikut [di sini].
Dari buku Kesultanan Kutai, misalnya ada tulisan berikut, "Untuk kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Samarinda pada tahun 1870, sultan memungut uang labuh sebesar f.17 bagi setiap kapal tanpa memperhatikan negara asal kapal itu". Sayang tidak disebutkan nama mata uangnya, namun dari kata f.17 mungkin maksudnya 17 gulden. Apakah Kesultanan Kutai memakai mata uang Belanda, ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial ada kalimat cukup menarik. "Beberapa faktor yang sama mempengaruhi perdebatan tentang berbagai persetujuan menyangkut pencetakan koin tembaga. Pada April 1836, Boers menerima perintah dari Batavia untuk menekan Facharuddin agar melarang impor koin tembaga dari Singapura. Menurut laporan yang masuk, sultan membeli koin seharga 120 penny untuk satu gulden dengan nilai tukar 180 penny terhadap gulden---menggunakan uang yang berasal dari kontraknya dengan Belanda," (halaman 94).
Lalu dikatakan, "Fachruddin merespons dengan cepat dan positif. Dia bersedia menghentikan impor koin dari Singapura, untuk mengakui hanya mata uang Belanda yang berlaku di Muara Kompeh, dan mendorong peredarannya di bagian-bagian lain wilayah kekuasaannya" (halaman 95).
Nah, mata uang ini harus menjadi perhatian: koin tembaga dan mata uang Belanda. Sebagai artefak arkeologi, tidak perlu dalam kondisi bagus. Yang penting data tekstual dan data piktorial teridentifikasi. Semoga koin-koin itu ada di museum lokal sehingga generasi sekarang dan masa mendatang tidak hanya membaca tulisan tetapi juga melihat bukti fisiknya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H