kerajaan atau kesultanan. Ada kerajaan/kesultanan besar, ada juga yang lebih kecil. Diperkirakan di Nusantara pernah ada puluhan kerajaan/kesultanan, atau mungkin lebih. Di sini yang dimaksud kerajaan/kesultanan berasal dari periode Islam, sebagaimana periodesasi dalam arkeologi.
Negara kita memiliki sejarah panjang. Sebelum berbentuk republik seperti sekarang, di Nusantara terdapat banyakSetiap kerajaan/kesultanan diketahui memiliki mata uang sendiri. Umumnya mata uang mereka terbuat dari logam. Ada yang berbahan emas, ada pula perak dan bahan-bahan lain seperti perunggu, tembaga, dan timah. Kemungkinan mata uang emas dan perak dikeluarkan oleh kerajaan/kesultanan besar. Kerajaan Samudera Pasai di Aceh diketahui pernah mengeluarkan uang emas dan perak. Begitu pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.
Timah
Banyak kesultanan mengeluarkan mata uang berbentuk koin dengan bahan sederhana seperti timah, misalnya Kesultanan Palembang Darussalam. Banyak koin berasal dari masa ini, abad ke-17---18. Umumnya koin dari masa ini tipis sehingga mudah patah/rusak. Bahkan hanya bertulisan pada satu sisi dengan sisi lain kosong. Tulisan pada koin biasanya nama sultan atau lambang kesultanan.
Koin Kesultanan Palembang banyak dijual orang. Karena jarang disukai kolektor atau numismatis, maka harganya relatif murah. Koin ini banyak ditemukan di Sungai Musi. Saya punya koin dari masa ini dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang bolong, ada yang rapat atau buntu. Ada yang kecil, ada yang agak besar.
Beberapa tahun lalu saya beli seharga Rp 200 ribu sudah termasuk bingkai dan narasi. Yah, lumayanlah buat hiasan dinding.
Beberapa koin kesultanan saya dapat sebagai cenderamata ketika mengisi webinar tentang numismatik dan dari seminar. Dari Museum Uang Sumatera di Medan saya dapat koin Kesultanan Batubara. Dari CORE (Club Oeang Revoloesi) saya dapat koin Palembang. Umumnya koin kesultanan bertulisan Arab.
Sayang koin-koin kesultanan sudah berwarna hitam. Mungkin itu penyebab kurang disukai kolektor. Kecuali tentunya koin emas dan perak dalam kondisi cukup bagus.
Hitam manis
Meskipun 'hitam manis' sebenarnya koin kerajaan/kesultanan sangat bermanfaat untuk menyusun sejarah Indonesia atau sejarah lokal. Dulu uang-uang itu memainkan peranan penting. Karena bersifat lokal, jadinya koin-koin itu belum dikenal luas.
Sekadar gambaran di Kalimantan Barat sekarang, dulu pernah ada Kerajaan Sintang dan di Kalimantan Timur ada Kerajaan Kutai Islam (untuk membedakan dari Kerajaan Kutai abad ke-5 yang berciri Hindu). Â
Baca juga tulisan berikut [di sini].
Dari buku Kesultanan Kutai, misalnya ada tulisan berikut, "Untuk kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Samarinda pada tahun 1870, sultan memungut uang labuh sebesar f.17 bagi setiap kapal tanpa memperhatikan negara asal kapal itu". Sayang tidak disebutkan nama mata uangnya, namun dari kata f.17 mungkin maksudnya 17 gulden. Apakah Kesultanan Kutai memakai mata uang Belanda, ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial ada kalimat cukup menarik. "Beberapa faktor yang sama mempengaruhi perdebatan tentang berbagai persetujuan menyangkut pencetakan koin tembaga. Pada April 1836, Boers menerima perintah dari Batavia untuk menekan Facharuddin agar melarang impor koin tembaga dari Singapura. Menurut laporan yang masuk, sultan membeli koin seharga 120 penny untuk satu gulden dengan nilai tukar 180 penny terhadap gulden---menggunakan uang yang berasal dari kontraknya dengan Belanda," (halaman 94).
Lalu dikatakan, "Fachruddin merespons dengan cepat dan positif. Dia bersedia menghentikan impor koin dari Singapura, untuk mengakui hanya mata uang Belanda yang berlaku di Muara Kompeh, dan mendorong peredarannya di bagian-bagian lain wilayah kekuasaannya" (halaman 95).
Nah, mata uang ini harus menjadi perhatian: koin tembaga dan mata uang Belanda. Sebagai artefak arkeologi, tidak perlu dalam kondisi bagus. Yang penting data tekstual dan data piktorial teridentifikasi. Semoga koin-koin itu ada di museum lokal sehingga generasi sekarang dan masa mendatang tidak hanya membaca tulisan tetapi juga melihat bukti fisiknya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H