Namun sebagian besar informasi mengenai sejarah Sintang ditemukan dalam sumber kepustakaan mengenai kawasan bagian Barat Borneo. Borneo adalah sebutan orang asing untuk Kalimantan. Menurut peneliti Belanda penyusun buku, cara terbaik mendapatkan informasi mengenai sejarah awal Sintang dan asal muasal penduduknya adalah melalui penelitian arkeologis. Sampai saat ini satu-satunya sumber informasi daerah ini adalah sumber kepustakaan tentang prasejarah dan sejarah awal Asia Tenggara dan Borneo.
Kerajaan
Dalam buku terungkap, dulu Sintang merupakan sebuah kerajaan, dari kerajaan Hindu kemudian berubah menjadi kerajaan Islam. Kapan Kerajaan Sintang didirikan sangat tidak pasti karena bercampurnya mitos dan sejarah. Juga hanya diceritakan turun-temurun sehingga kebenarannya sulit dibuktikan.
Menurut tradisi, raja pertama Sintang adalah Aji Melayu, seorang Hindu dari Jawa. Sebenarnya beliau adalah Raja Sepauk. Saat itu Sintang belum eksis. Jubair, keturunan Aji Melayu, dianggap sebagai pendiri Kerajaan Sintang. Â Â
Buku itu juga mengemukakan, pusat kerajaan berlokasi di titik pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Dari sinilah asal nama Sintang, yakni Senentang, yang berarti pertemuan dua sungai.
Ditulis dalam buku itu raja pertama yang menganut Islam di Sintang adalah Sultan Nata Mohammad Syamsoedin yang memimpin sekitar 1700. Setelah makin ramai, pada abad ke-18 Sintang didatangi etnis Tionghoa. Info ini didukung peta 1860 yang menggambarkan lokasi pemukiman etnis Tionghoa.
Selanjutnya pada abad ke-19 Kabupaten Sintang terdiri atas 86 kampung. Populasinya terdiri atas Dayak 49.666 orang, Melayu 23.000 orang, dan Tionghoa 900 orang.
Pada awal abad ke-20, kehidupan masyarakat di Sintang cukup bervariasi. Orang Dayak menjadi petani. Beberapa perindustrian sudah terdapat di sana namun masih dalam skala kecil. Pada 1930-an sekitar 2,5 juta pohon karet ditanam. Perkebunan karet besar milik orang Melayu, sementara yang lebih kecil milik orang Tionghoa.
Diberitakan dalam buku, perdagangan merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat Tionghoa. Sayang situasi ekonomi tidak begitu baik. Saat itu sering terjadi banjir sehingga menyebabkan kegagalan panen. Selain itu Sintang kehilangan fungsi sebagai pusat pasar produk-produk hutan.
Modernisasi
Modernisasi mulai masuk Sintang pada abad ke-20. Pada 1926 diperkenalkan kapal cepat. Selanjutnya pembangunan jalan, rumah sakit terapung, sekolah, kantor pos, dan pengadilan. Â