Batik berasal dari bahasa Sanskerta ambatik yang bermakna "membuat titik". Membatik adalah membuat corak atau gambar, terutama dengan tangan, dengan menerakan malam pada kain.
Kedudukan seni batik tradisional selain sebagai kebutuhan sandang, pada masa lalu sangat terkait dengan fungsinya yang terjalin dalam piranti kehidupan kemasyarakatan. Seni batik tradisional menjadi kesatuan utuh dalam tata kelola daur kehidupan masyarakat.
Demikian dikatakan Abdul Syukur dalam acara Diskusi Arkeologi bertopik "Batik dan Perhiasan Indonesia Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan". Acara itu diselenggarakan oleh para arkeolog yang tergabung dalam IAAI Komda Jabodetabek pada 16 Oktober 2021.
Kegiatan diskusi dipandu oleh Zainab Tahir setelah Ketua IAAI Jabodetabek Dedah Rufaedah Sri Handari memberikan kata sambutan. Acara yang diketuai oleh Dewi Trisna, menghadirkan pula M. Dwi Cahyono, Siti Maziyah, dan Terry Wijaya Supit.
Arca, relief, prasasti, dan kitab
M. Dwi Cahyono memaparkan jejak sejarah batik Jawa Kuna pada sumber data ikonografi. Ikonografi adalah pengetahuan tentang seni arca. Banyak motif batik terdapat pada sejumlah arca dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama dari era Singhasari (abad ke-13) dan era Majapahit (abad ke-14---15). "Amat mungkin telah menggunakan teknik batik tulis," kata Dwi Cahyono. Ia menambahkan, pada busana yang dikenakan masa Jawa Kuna hadir pada kain panjang bawahan, selendang, dan rompi.
Dari sumber tertulis, menurut Siti Maziyah, adanya batik diketahui dari Prasasti Jurungan (876 Masehi). Dikatakan, Pu Manusi mendapatkan hadiah beberapa kain di antaranya dibayarkan dalam bentuk emas, yaitu wdihan buatan Kling berwarna putih satu pasang dan sejumlah wdihan lain.  Dalam bahasa Jawa Kuna, wdihan dan ken merujuk pada pakaian dan kain.
Dari kitab Pararaton diketahui Raden Wijaya membagi pakaian motif gringsing kepada Sora, Rangga Lawe, Dangdi, dan Gajah, yang telah berperang mati-matian melawan Daha. Kitab lain, Tantri Kamandaka, menyebutkan adanya kain motif ranga, jenis kain dengan motif bunga-bunga yang khas.
"Teknologi membatik sudah ada pada masa Jawa Kuna. Nama motif batik terekam dalam prasasti dan susastra. Gambar motif batik terekam dalam relief dan arca tertentu yang mengenakan kain bermotif. Sementara batik digunakan sebagai adhi bhusana (pakaian mewah) dan pakaian sakral," demikian Maziyah.
PerhiasanÂ
Batik berhubungan dengan busana. Sedangkan perhiasan adalah pelengkap dalam berbusana, juga sebagai pembeda status sosial masyarakat pada masa lalu hingga sekarang. Hal ini tergambar dalam relief-relief candi pada masa Hindu-Buddha. Â
Menurut Terry Wijaya Supit, perhiasan muncul sebagai ungkapan rasa keindahan yang dipengaruhi oleh lingkungan saat perhiasan itu diciptakan. Zaman dulu perhiasan dibuat dengan filosofi-filosofi tertentu sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat yang banyak bersinggungan dengan kepercayaan saat itu.
Pada awalnya bahan yang digunakan untuk perhiasan sangat sederhana dan mudah ditemui dari alam sekitar seperti daun, bunga, buah, kayu, batu, dan tulang. Di masa perundagian, masyarakat telah mengenal perhiasan berupa gelang kaki, gelang tangan, kalung, topi, dan senjata yang terbuat dari bahan logam tuang seperti tembaga. "Pada masa Hindu-Buddha, seni perhiasan berkembang dengan ditemukannya perhiasan dari bahan kaca, tembaga, dan emas yang berfungsi juga sebagai sarana pelengkapan dalam upacara ritual," demikian Terry.
Banyaknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, mempengaruhi teknik dan ragam hias perhiasan Indonesia yang ada. Pengaruh-pengaruh itu, menurut Terry, berasal dari budaya lokal setempat, budaya Hindu-Buddha, budaya India, budaya Tiongkok, hingga budaya Islam dan budaya Eropa.
Sementara soal fungsi perhiasan, kata Terry, sebagai bekal kubur, sebagai penolak bala, sebagai sarana pengobatan, sebagai simbol status, dan sebagai perlengkapan penari.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H