Patahan purba
Semenanjung Muria memiliki gunung api purba. Hingga abad ke-16, gunung ini pernah menjadi pulau tersendiri, terpisah dari Pulau Jawa oleh Selat Muria.
Di sepanjang selat ini muncul kota-kota pelabuhan, seperti Semarang, Jepara, Demak, Kudus, Pati, dan Juwana.Â
Selat ini menjadi salah satu jalur perdangangan rempah-rempah yang menghubungkan Timur Tengah dengan Maluku, dan mungkin dilalui oleh Tom Pires dalam lawatannya di Jawa pada 1512 dan 1515.
Selat ini mengalami pendangkalan dan tertutup pada abad ke-17 dan ke-18, sehingga kondisinya seperti yang kita lihat.
Saat ini tim Balar DIY tengah melakukan penelitian di Gunung Muria. Gunung ini terdapat pada tiga kabupaten, yakni Pati, Jepara, dan Kudus. Menurut ketua tim peneliti Hery Priswanto, informasi adanya sisa-sisa bangunan candi di sebuah bukit berasal dari laporan Dinas Purbakala pada 1901 dan 1914.
Disusul laporan dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 2004 yang mengatakan adanya prasasti perunggu, koin Cina, dan sisa-sisa bangunan di lereng Gunung Muria.
Bangunan yang paling dikenal adalah Candi Angin sebenarnya berupa sebuah reruntuhan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Begitu pula yang disebut Candi Bubrah. Dalam bahasa Jawa bubrah berarti runtuh atau berantakan. Di mata masyarakat, kedua candi dipenuhi legenda. Candi itu terbentuk sendiri, begitulah kepercayaan masyarakat.
Candi Angin sering didatangi penganut aliran spiritual. Karena mereka bisa 'melihat' ada sebuah pusaran angin di lubang candi, maka dinamakan Candi Angin.
Konon Candi Angin lebih tua daripada Candi Borobudur, ditafsirkan peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada anggapan kalau candi ini buatan manusia purba karena tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Buddha.
Menurut Hery Priswanto, ragam tinggalan arkeologi di Gunung Muria cukup banyak, antara lain berupa miniatur candi, arca terakota, yoni, arca ganesha, dan prasasti.