Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Mitos Balung Buto dalam Kelestarian Fosil Purba Sangiran

26 Agustus 2021   16:13 Diperbarui: 26 Agustus 2021   16:17 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Sangiran sudah dikenal sejak lama. Di situs itu ditemukan fosil manusia purba, hewan purba, sampai tumbuhan purba. 'Surga fosil' layak disematkan kepada Sangiran.

Dulu banyak warga mencari penghidupan dengan mencari fosil. Lalu fosil-fosil tersebut dijual kepada peminat, terlebih wisatawan asing. Sebagian lagi membuat barang-barang cendera mata dari fosil.

Namun upaya mencari fosil secara besar-besaran mulai reda tatkala dibentuk Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran. Kepala BPSMP Sangiran pertama, Harry Widianto, berjasa menggandeng warga lokal untuk bekerja sama dengan museum. Sejak itu berbagai temuan fosil dilaporkan kepada pihak BPSMP Sangiran. Maklum kebanyakan fosil ditemukan di areal milik warga. Tentu ada uang kompensasi bagi penemu fosil, setelah diverifikasi oleh tim.

Koleksi fosil Museum Sangiran (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Koleksi fosil Museum Sangiran (Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Balung Buto

Masyarakat Sangiran memiliki budaya tutur yang sangat dikenal, yakni mitos Balung Buto.  Ternyata keberadaan mitos tersebut mampu melindungi keberadaan fosil. Namun sekarang mitos Balung Buto sudah jarang dipercaya bahkan mulai terancam hilang.

Mitos Balung Buto sudah ada sebelum kedatangan peneliti asing pada zaman kolonial. Kisahnya tentang  sebuah perjuangan dan peperangan antara manusia melawan para raksasa yang memiliki niat jahat. Balung Buto merupakan istilah dalam bahasa Jawa, balung berarti tulang dan buto berarti raksasa. Dengan demikian secara harfiah Balung Buto berarti tulang raksasa.  

Mereka percaya bahwa tulang-tulang yang sudah menjadi fosil tersebut adalah tulang-tulang raksasa yang mati terbunuh dalam sebuah pertempuran besar. Para raksasa pimpinan Raja Tegopati, sementara para ksatria dipimpin Raden Bandung.  

Pertempuran besar terjadi di kawasan perbukitan Sangiran dan berlangsung sangat sengit. Sengitnya pertempuran itu digambarkan dengan banyaknya raksasa yang mati dan kemudian terkubur di bukit. Oleh karena itu, fosil-fosil yang memiliki ukuran besar yang banyak bermunculan di lereng-lereng perbukitan Sangiran dinamakan Balung Buto. Demikian antara lain isi tulisan Bambang Sulistyanto (2003). Bahkan menurut Pak Harry Widianto, di Sangiran ada yang namanya Sungai Jeroan. Jeroan mengacu kepada isi badan para raksasa jahat yang mati.

Tidak heran fosil-fosil yang tersebar di Sangiran dianggap sebagai benda keramat. Dulu pernah digunakan untuk pengobatan dan benda magis atau jimat.

Ilustrasi: raksasa jahat dalam mitos (Foto: Museum Sangiran)
Ilustrasi: raksasa jahat dalam mitos (Foto: Museum Sangiran)

Kelestarian fosil

Soal Balung Buto, diceritakan Pak Dody Wiranto dari BPSMP Sangiran pada Kamis, 26 Agustus 2021, lewat daring. Sudah beberapa kali ini memang BPSMP Sangiran menyelenggarakan acara bertajuk Sharing Informasi. Pak Dody memaparkan tentang pelestarian situs Sangiran berbasis sumber daya budaya.

Menurut Pak Dody, pengelolaan sumber daya budaya memiliki tiga tujuan, yakni untuk kepentingan ideologi dalam memantapkan identitas bangsa; untuk kepentingan akademik, sebagai sumber data bagi tujuan akademis seperti penelitian, studi, dan kajian; dan untuk tujuan ekonomi, yaitu pemanfaatan "sumberdaya budaya" dalam bentuk barang (goods) dan jasa (service) guna melahirkan income bagi masyarakat. Begitu Pak Dody mengutip dari tulisan Cleere dkk terbitan 1989.

Dikatakan lagi oleh Pak Dody, mitos Balung Buto diciptakan sangat mirip dengan kisah pada cerita pewayangan, hanya pada beberapa tempat dan tokoh namanya diubah disesuaikan dengan lingkungan Situs Sangiran.

"Peran mitos Balung Buto ini memberikan nilai positif pada kelestarian fosil di Sangiran saat itu. Cerita dalam mitos Balung Buto juga banyak memberikan ajaran nilai, moral dan etika tentang kebaikan dan kebijakan," kata Pak Dody mengutip tulisan Pak Bambang Sulistiyanto (2003). 

Edukasi dan pengetahuan yang ada dalam cerita bernilai positif terhadap perilaku masyarakat dan di dalam mendukung pelestarian Situs Sangiran. Hal ini didukung pula oleh komentar Pak Rhis Eka Wibawa yang ikut webinar tentang kelestarian tinggalan purbakala di Jambi. "Masyarakat lebih percaya kepada mitos yang tidak boleh ini dan tidak boleh itu daripada Undang-undang Cagar Budaya," ujar Pak Rhis.

Mitos Balung Buto ternyata dikenal pula di daerah lain yang memiliki situs purba, seperti Patiayam. Kita harapkan adanya mitos akan melestarikan segala tinggalan purbakala di negara kita. Dalam acara webinar ikut hadir Prof. (Riset) Harry Widianto dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang pernah menjadi Kepala BPSMP Sangiran dan Pak Iskandar M. Siregar, Kepala BPSMP Sangiran sekarang. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun