Sesuai dengan pendidikan yang pernah saya tempuh, umumnya tulisan saya tentang arkeologi dan museum. Hanya sebagian kecil tentang numismatik, pariwisata, dan pendidikan. Umumnya tulisan di Kompas mendapat perhatian banyak pihak, seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Saya berterima kasih karena manajemen Kompas sudah baik, antara lain menginformasikan tulisan yang tidak bisa dimuat Kompas. Contohnya ada di bawah ini:
"Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 11 Juni 2020 Redaksi Kompas telah menerima ARTIKEL Anda berjudul "Uang Kuno Di Mata Arkeolog, Numismatis, Dan Masyarakat Awam". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang Anda berikan kepada Kompas.
Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami,
kurang urgen untuk saat ini
Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual dan relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih menarik."
Biasanya alasan lain dari redaksi yang tidak bisa memuat tulisan saya adalah 'kesulitan mendapatkan tempat'. Sering kali tulisan yang ditolak Kompas, saya perbaiki dan kirim ke media lain, termasuk media daring. Pilihan terakhir adalah mem-posting tulisan di Kompasiana yang tanpa suntingan.
Banyak dampak positif kalau tulisan kita dimuat Kompas. Dikenal luas dan dianggap pakar, itu sudah saya rasakan. Maklum, pakar-pakar arkeologi dan museum jarang sekali menulis di media cetak. Karena lebih dikenal dibandingkan banyak arkeolog lain, saya beberapa kali diundang menjadi narasumber. Yah, untuk masyarakat awam sih saya mampu, mengingat saya hanya 'lulusan arkeologi yang tidak pernah bekerja di instansi arkeologi'.***