Ada pameo di masyarakat kita yang dikenal sejak lama. Kita dipandang belum makan selama belum makan nasi, meskipun kita sudah menyantap berbagai hidangan seperti kue, buah, dan mie ayam, misalnya. Rupanya nasi identik dengan makan. Mungkin karena nasi menjadi makanan pokok bangsa kita.
Saya yakin setiap orang bisa menulis. Namun hanya sebagian kecil saja yang mampu menulis artikel. Menulis status atau komentar di media sosial, setiap hari dilakukan masyarakat kita. Sebaliknya menulis di blog hanya diminati oleh segelintir masyarakat. Padahal menulis di blog tanpa suntingan dan bisa langsung tayang. Â Â
Menulis artikel atau menulis nonfiksi di media cetak dan media daring termasuk sulit, karena harus memenuhi kriteria ketat redaksi. Dulu media cetak, seperti koran dan majalah, menjadi primadona bacaan. Buat para penulis dan kolumnis pun menjadi kebanggaan. Selain mendapatkan honorarium, juga mendapatkan popularitas. Semakin sering dimuat, semakin dikenallah sang penulis.
Menulis artikel menjadi ajang mengemukakan gagasan, kritik, informasi, edukasi, dan lain-lain berdasarkan kepakaran dan keilmuan seseorang. Karena itu pengaruh tulisan buat masyarakat sangat kuat. Apalagi kalau dimuat di media-media cetak nasional, yang tentu saja bermarkas di Jakarta.
Seperti halnya 'makan nasi', masyarakat pun dianggap 'belum menulis' selama belum dimuat di Kompas. Tidak ada yang memungkiri kalau Kompas menjadi koran bergengsi di Insonesia. Tirasnya sangat banyak, bahkan tergolong koran terbesar di Asia Tenggara. Banyak intelektual dan akademisi selalu membaca dan menulis di Kompas. Bahkan saat media-media cetak lain mati dan sekarat, Kompas masih tetap setia mengunjungi para pembaca, meskipun tirasnya semakin menurun. Kita harapkan Kompas masih tetap bertahan beberapa tahun ke depan.
Memang media-media lain telah beralih ke platform dijital. Sebaliknya Kompas masih setia dengan platform cetak. Bahkan beriringan dengan platform dijital dalam bentuk kompas.id. Setiap artikel yang dimuat di Kompas cetak, pasti dimuat di kompas.id. Sebaliknya artikel yang dimuat di kompas.id belum tentu dimuat di Kompas cetak. Kompas.id berbeda dengan kompas.com dan kompasiana.com, yang juga milik Kompas.
Tulisan saya beberapa kali dimuat di kompas.id. Sebelumnya terlebih dulu memang Redaksi Kompas mengirimkan pemberitahuan.
"Salam hormat,
Dengan ini kami informasikan bahwa artikel Opini yang Saudara kirim kepada kami telah dimuat di platform digital Kompas.ID.
Adapun link artikel Opini tersebut adalah sebagai berikut; https://www.kompas.id/baca/opini/2021/03/22/nasib-warisan-budaya-di-bawah-air/"
Lebih banyak ditolak
Terus terang, tulisan yang saya kirim ke Kompas lebih banyak ditolak daripada diterima. Namun bukan berarti tulisan saya jelek. Saya anggap tidak sesuai saja dengan keinginan redaksi. Seperti halnya makanan, ada yang senang mie, ada pula yang senang baso. Begitulah tulisan.
Sesuai dengan pendidikan yang pernah saya tempuh, umumnya tulisan saya tentang arkeologi dan museum. Hanya sebagian kecil tentang numismatik, pariwisata, dan pendidikan. Umumnya tulisan di Kompas mendapat perhatian banyak pihak, seperti pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Saya berterima kasih karena manajemen Kompas sudah baik, antara lain menginformasikan tulisan yang tidak bisa dimuat Kompas. Contohnya ada di bawah ini:
"Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 11 Juni 2020 Redaksi Kompas telah menerima ARTIKEL Anda berjudul "Uang Kuno Di Mata Arkeolog, Numismatis, Dan Masyarakat Awam". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang Anda berikan kepada Kompas.
Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami,
kurang urgen untuk saat ini
Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual dan relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih menarik."
Biasanya alasan lain dari redaksi yang tidak bisa memuat tulisan saya adalah 'kesulitan mendapatkan tempat'. Sering kali tulisan yang ditolak Kompas, saya perbaiki dan kirim ke media lain, termasuk media daring. Pilihan terakhir adalah mem-posting tulisan di Kompasiana yang tanpa suntingan.
Banyak dampak positif kalau tulisan kita dimuat Kompas. Dikenal luas dan dianggap pakar, itu sudah saya rasakan. Maklum, pakar-pakar arkeologi dan museum jarang sekali menulis di media cetak. Karena lebih dikenal dibandingkan banyak arkeolog lain, saya beberapa kali diundang menjadi narasumber. Yah, untuk masyarakat awam sih saya mampu, mengingat saya hanya 'lulusan arkeologi yang tidak pernah bekerja di instansi arkeologi'.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H