Pagi tadi ketika sedang membuka WAG, ada seorang teman mengabarkan Pak Otti---panggilan akrab Pak Mundardjito---masuk rumah sakit karena infeksi paru-paru. Sebenarnya ia masuk rumah sakit sejak 24 Juni 2021 lalu. Namun keluarganya tidak mau merepotkan keluarga besar arkeologi UI sehingga berita tersebut tidak tersebar.
Sungguh mengagetkan, sehabis makan siang saya membuka WAG lagi. Seorang teman arkeologi memosting tulisan demikian, "Innalillahi wainna lillahi rojiun, telah berpulang ke rahmatulloh Bapak kami tercinta 'Prof. Dr. Mundardjito' pada 2 Juli 2021 pukul 12.40.Â
Semoga almarhum diterima dan dimudahkan serta dilapangkan jalannya menuju sang khalik. Aamiin YRA". Segera berita ini menyebar dan mendapat tanggapan dari anak didik dan kolega beliau.
Metodologi Arkeologi
Pak Otti lahir di Bogor pada 8 Oktober 1936. Beliau lulus dari Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia, kini Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, pada 1963. Skripsi beliau berjudul "Peninggalan Purbakala Islam di Tembayat, Klaten". Setelah lulus beliau menjadi tenaga pengajar di almamaternya.
Sebagai tenaga pengajar beliau beberapa kali mendapatkan bea siswa ke mancanegara. Antara lain ke University of Athens, Yunani (1969-1971) dan University of Pennsylvania, Amerika Serikat (1978-1979).Â
Beliau memperdalam teori arkeologi atau metodologi arkeologi. Pada 1993 beliau lulus program Doktor dengan disertasi  "Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro". Disertasinya itu kemudian diterbitkan menjadi buku.
Pada 1995 Pak Otti diangkat menjadi Guru Besar Tetap UI. Setelah pensiun, Prof. Mundardjito masih tetap mengajar di FIB UI. Â
Mapala UI
Bukan cuma di arkeologi, di luar arkeologi pun nama Pak Otti cukup dikenal. Salah satu jasa beliau adalah ikut membentuk Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Mapala UI berkembang pesat hingga saat ini.
Di dunia arkeologi beliau banyak terlibat penyusunan Studi Kelayakan Arkeologi untuk proyek-proyek pembangunan. Kalau diajak bicara soal situs Trowulan dan Majapahit, mungkin seharian pun beliau sanggup. Maklum beliau menguasai banyak hal soal pelestarian arkeologi.
Pada 1976 beliau turut mendirikan organisasi profesi Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) bersama seniornya, Pak R.P. Soejono. Bahkan beliau menyusun kode etik untuk arkeolog Indonesia.
Setelah pensiun beliau tidak berhenti menuangkan pikiran. Beliau pernah menjadi anggota Tim Sidang Pemugaran (TSP) dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta. Sebelumnya beliau menjadi TACB Nasional.
Di DKI Jakarta kiprahnya sangat dihormati Ahok, yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta. Banyak nasihat pernah beliau kemukakan, terutama untuk pembangunan kampung akuarium di Jakarta Utara. "Semuanya saya serahkan kepada Pak Profesor," demikian kata Ahok ketika itu.
Pak Otti juga tidak setuju atas rencana pemprov DKI Jakarta membangun sirkuit Formula-E di kawasan Monas. Kalau tidak ada pandemi, mungkin saja sirkuit tersebut telah jadi. Entah bagaimana kelanjutan sirkuit tersebut. Â
Pembimbing skripsi
Pak Otti menjadi pembimbing saya ketika saya menulis skripsi "Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur: Sebuah Penelitian Pendahuluan" (1985).Â
Terus terang ia menilai skripsi itu 'aneh'. Maklum bukan menyangkut artefaktual. Tapi di mancanegara penelitian seperti itu kerap dilakukan arkeolog. Apalagi ada subdisiplin Arkeologi Publik. "Ini bersifat 'action research'," kata beliau ketika itu.
Setelah lulus pada 1985, saya malang-melintang di dunia nonarkeologi. Namun saya tidak meninggalkan dunia arkeologi. Saya tetap menulis arkeologi, dan juga museum tentunya. Kalau menulis arkeologi, saya sering minta pendapat Pak Otti. Misalnya ketika menulis tentang harta karun laut dan pengrusakan di situs Trowulan.
Meskipun kemudian jarang bertemu, Pak Otti tetap mengingat saya. Yah tentu karena tulisan-tulisan saya di media cetak. Saya dan beliau sering kontak-kontakan, terlebih ketika muncul hp atau ponsel. Lebih sering ketika muncul lagi media sosial. Kami sering kontakan lewat WA dan FB.
Beberapa tahun lalu ia pernah kontak saya. "Skripsi lo lagi dibahas di Borobudur tuh," katanya. Kami memang sering berbicara santai.
Dalam skripsi itu saya membahas tentang kelestarian Candi Borobudur dari pengunjung. Saya mengusulkan pihak pengelola perlu membuat alas kaki khusus yang lembut yang harus dipakai para pengunjung untuk menaiki candi.Â
Usul kedua adalah melapisi batu-batu candi, terutama pada bagian anak tangga, dengan karpet atau sejenisnya. Bersyukur, hasil pemikiran saya diaplikasikan oleh Balai Konservasi Borobudur sekitar 2019. Berarti 34 tahun kemudian.
Saya sering ketemu beliau ketika beliau menjadi anggota Tim Sidang Pemugaran dan Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta. Biasanya beliau rapat setiap Selasa di kantor Balai Konservasi Cagar Budaya, yang sekarang berubah nama menjadi Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta.
Dalam berbagai kesempatan itu beliau banyak berbicara tentang arkeologi. Pokoknya segala aspek beliau kemukakan. Beliau bahkan menjuluki saya sebagai 'arkeolog dengan takdir sial'.Â
"Harusnya elo dapat apresiasi dari pemerintah karena sudah membumikan arkeologi dan museum sejak 1980-an. Elo kan melakukan itu bukan karena gaji, pensiun, proyek, atau tugas dari pemerintah. Elo membuat blog arkeologi, bahkan membuat kuis buku dengan dana pribadi," kata beliau. Satu nama lagi yang beliau sebut adalah Berthold Sinaulan, yang juga membumikan arkeologi sejak 1980-an.
Beda dengan gue, katanya masih dengan bahasa santai. Gue kan digaji dan dapat pensiun dari pemerintah, yah harus loyal kepada pemerintah.
Sejak pandemi kami tidak pernah berjumpa lagi. Sampai mendengar berita kepergian beliau siang tadi. RIP Pak Otti, jejakmu masih tersisa di dunia arkeologi karena prestasi luar biasamu. Kiranya beliau pantas mendapat sebutan "Bapak Metodologi Arkeologi Indonesia".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H