Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan orang mati meninggalkan karya. Begitu halnya Edhi Sunarso, seniman patung tersohor Indonesia, yang meninggal pada Senin, 4 Januari 2016 di Yogyakarta. Â
Edhi Sunarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 2 Juli 1932. Â Ia mulai belajar dan berlatih membuat patung ketika menjadi tawanan perang KNIL di Bandung antara 1946-1949. Selanjutnya ia memasuki ASRI di Yogyakarta, lulus pada 1955 dan Kelabhawa Visva Bharati University Santiniketan (India), lulus pada 1957.
Edhi Sunarso banyak menghasilkan karya patung dan monumen. Karyanya  tersebar di beberapa kota. Di Jakarta karyanya yang dipandang monumental adalah Patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Dirgantara di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan.
Karena karya-karyanya yang luar biasa, menurut Wikipedia, maka negara telah menganggapnya berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional. Karena itu pada 12 Agustus 2003, Edhi Sunarso dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma.
Patung Dirgantara atau populer disebut Patung Pancoran menjulang tinggi dan melengkung di persimpangan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Supomo. Dulu lokasinya persis di depan Markas Besar Angkatan Udara (MBAU). Patung ini bisa dilihat dari segala arah secara lengkap dari atas ke bawah. Sayang kemudian MBAU berpindah lokasi dan jalan bebas hambatan rampung dibuat. Maka patung ini pun terjepit di antara jalan bebas hambatan yang menghubungkan Cawang dan Senayan.
Lokasi patung memang strategis. Wilayah tersebut merupakan pintu gerbang Jakarta Selatan dari arah Lapangan Terbang Internasional ketika itu, Halim Perdanakusuma. Uniknya, menurut buku Konservasi Patung Dirgantara (Pusat Konservasi Cagar Budaya, 2015), secara administratif Patung Dirgantara masuk ke dalam dua wilayah. Bagian bawah pedestalnya masuk wilayah Jakarta Selatan, sementara bagian patungnya masuk wilayah Jakarta Pusat.
Patung Dirgantara dibangun pada 1964-1965 ditujukan untuk penghargaan Angkatan Udara Republik Indonesia dengan cita-cita serta keyakinan mampu menguasai dirgantara sebagaimana bangsa-bangsa maju di dunia.
Ada banyak hal yang membuat Patung Dirgantara begitu menarik, yakni tingginya, bentuk tiangnya yang melengkung, dan tokoh yang digambarkan. Menurut buku Sejarah Singkat Patung-patung dan Monumen di Jakarta (Dinas Museum dan Sejarah, 1985), tinggi patung 11 meter dan tinggi kaki patung 27 meter dengan berat patung 11 ton. Patung ini dibuat dari bahan perunggu.
Gagasan pembuatan patung berasal dari Presiden Sukarno yang menghendaki gambaran tentang penerbangan Indonesia. Setelah menggagas, Soekarno mencontohkan dengan tubuhnya bagaimana seharusnya patung tersebut dibuat.
Kepada Edhi Sunarso, Sukarno antara lain mengatakan, "...Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau bangsa Amerika, bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!... (Konservasi Patung Dirgantara, hal. 17).