Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Patung Dirgantara atau Patung Pancoran, Hasil Utang Pemerintah kepada Edhi Sunarso yang Belum Terbayar

10 Mei 2021   17:02 Diperbarui: 29 Mei 2022   19:37 2920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi patung sebelum konservasi/kiri dan setelah konservasi/kanan (Foto: Buku Konservasi Patung Dirgantara, Pusat Konservasi Cagar Budaya, 2015)

Ketika menerima permintaan Sukarno, sebenarnya Edhi sempat ragu. Soalnya, ia belum pernah membuat patung dengan bahan perunggu. Kata Soekarno ketika itu, "...hey Dhi, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup!... (hal. 18). Akhirnya Edhi menyanggupi. Tahap pertama, Edhi mempresentasikan rancangannya dalam bentuk model dari gypsum.

Ternyata untuk mewujudkan impiannya mendirikan Patung Dirgantara itu, banyak kendala yang ditemui sang pematung, Edhi Sunarso. Ketiga kendala itu adalah material, pendanaan, dan situasi politik.

Berdasarkan perhitungan teknis, Edhi mengajukan Rp 12 juta untuk biaya pembuatan dan pengiriman ke Jakarta kepada Sukarno. Sukarno pun menyetujui tapi tanpa ada kontrak tertulis atau dokumen perjanjian lain. Setelah itu pemerintah memberi uang muka Rp 5 juta, secara pribadi Sukarno berjanji akan menyumbang Rp 1 juta, selebihnya menjadi utang pemerintah. Dengan uang muka dari pemerintah dan modal sendiri itulah, Edhi mulai bekerja.

Pemasangan Patung Dirgantara mengalami kendala karena peristiwa 30 September 1965. Setelah itu juga terkatung-katung di studio Edhi Sunarso di Yogyakarta. Baru pada Februari 1970 Sukarno kembali menghubungi Edhi soal pemasangan patung. Jawab Edhi, "Ya Pak. Kalau sudah ada biayanya akan segera kami pasang. Namun saat ini saya sudah tidak mempunyai uang lagi. Hutang saya sampai hari ini belum terbayar. Sampai-sampai rumah saya disegel, karena masih punya utang".

Mendengar keterusterangan Edhi, Sukarno menyuruh pembantunya, Gafur, untuk menjualkan mobilnya yang bermerk Buick. Setelah itu seorang staf kepercayaan Sukarno menemui Edhi dan menyerahkan uang sebesar Rp 1.750.000 untuk biaya transportasi pengangkutan patung dari Yogyakarta ke Jakarta.

Masih menurut buku Konservasi Patung Dirgantara, Sukarno sering menunggui pemasangan patung. Alat yang digunakan cukup sederhana, yakni dengan derek tarikan tangan. Agar mudah, patung tersebut dibagi dalam potongan kecil seberat 80-100 kilogram.

"Ketika sampai pengelasan pada bagian pinggang, saya melihat ke bawah banyak orang memenuhi lapangan sekitar monumen, ternyata Soekarno tengah melakukan peninjauan. Padahal kondisi kesehatan Sukarno saat itu sedang sakit dan sudah tinggal di Wisma Yaso," demikian kenang Edhi (hal. 21).

April 1970 Sukarno yang masih kurang sehat, kembali meninjau proses pemasangan. Rencananya Mei 1970 Sukarno akan meninjau pemasangan patung untuk ketiga kalinya. Sayang tidak terlaksana karena sakit Sukarno semakin serius.

Pada 21 Juni 1970 pagi, ketika Edhi sedang berada di puncak Patung Dirgantara, terlihat iring-iringan mobil jenazah di bawah monumen. Ternyata itulah jenazah Sukarno yang dibawa dari Wisma Yaso menuju pangkalan udara Halim Perdanakusuma yang akan diberangkatkan menuju Blitar.

Data ukuran Patung Dirgantara (Foto: Buku Konservasi Patung Dirgantara, Pusat Konservasi Cagar Budaya, 2015)
Data ukuran Patung Dirgantara (Foto: Buku Konservasi Patung Dirgantara, Pusat Konservasi Cagar Budaya, 2015)
Dipindahkan

Semakin lama keberadaan Patung Dirgantara ternyata semakin terganggu. Volume lalu lintas di Jakarta meningkat pesat. Untuk itulah pemerintah membangun berbagai jalan bebas hambatan dalam kota, salah satunya melewati lokasi Patung Dirgantara. Ternyata jalan tol tersebut pada perkembangan selanjutnya masih tidak sanggup mengatasi kemacetan Jakarta. Maka pada 2003 pemerintah merencanakan penambahan jalan baru, paralel dengan jalan tol yang ada. Jalan yang akan dibangun adalah jalan layang arteri melintas tepat pada lokasi Patung Dirgantara. Nah, rencana tersebut sudah tentu akan menggusur Patung Dirgantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun