Sampai saat ini banyak warga masih saja menganggap 'uang kuno' berharga mahal. Bila kita lihat di marketplace atau media-media sosial, mereka menawarkan 'uang kuno' dengan harga aduhai.Â
Dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Padahal, kondisi uang tersebut terbilang amburadul, seperti ada lipatan, kotor, dan sobek. Lagi pula uang tersebut masih keluaran 1990-an.
Sejak lama para kolektor uang atau numismatis berpedoman pada buku katalogus. Di sini ada patokan harga berdasarkan kondisi uang. Rata-rata katalogus memuat tiga macam harga untuk tiga kondisi (grade).Â
Harga termurah untuk kondisi XF (Extra Fine), boleh dikatakan 'cukup bagus'. Di atas XF ada kondisi VF (Very Fine) atau 'bagus'. Kondisi teratas adalah Unc (Uncirculated) atau 'bagus sekali'.
Sebenarnya numismatis mengenal delapan grade, namun yang populer tiga grade itu. Di bawah grade XF, ada F (Fine), G (Good), dan P (Poor). Ketiga kondisi sering kali dipakai untuk koleksi yang benar-benar langka.Â
Numismatis mengenal koleksi langka dengan istilah R (Rare), yakni R, RR, RRR, dan RRRR. RRRR berarti sangat langka. Koleksi yang ditemui berjumlah 1 hingga 3.
Numismatis profesional mengenal grade dari angka 1 hingga 70. Ini dikenal dengan skala Sheldon. Semakin tinggi grade, harga akan semakin mahal. Namun jarang sekali koleksi yang memperoleh nilai 70. Saya amati sejumlah numismatis Indonesia memiliki koleksi dengan grade 65 hingga 68.
Untuk memperoleh grade seperti itu, numismatis harus membayar sekitar Rp350.000. Namanya disertifikasi atau di-grading. Numismatis menyebutnya 'disekolahkan'. Saat ini grading dilakukan oleh lembaga PMG (Paper Money Guaranty) di AS. Ada agen PMG di Jakarta. Lihat tulisan saya [di sini].
![Ilustrasi kondisi uang kertas, ada lipatan dan kotor (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/08/pinisi-04-60456aad8ede483eb0518352.jpeg?t=o&v=770)
Harga sebuah koleksi yang sudah ada sertifikat PMG tentu lebih mahal daripada koleksi tanpa PMG, meskipun dalam kondisi sama. Hal seperti ini sering disalahtafsirkan oleh masyarakat awam.Â
Saya pernah melihat sebuah koleksi dengan PMG 65 ditawarkan dengan harga Rp1.500.000. Maka ikut-ikutlah beberapa masyarakat awam pasang harga tinggi. Padahal, kalau diperbandingkan dengan skala Sheldon, paling-paling koleksi mereka tidak lebih dari angka PMG 20. Ini menjadi bukti bahwa mereka tidak paham grading dan hanya memperhatikan koleksi dengan gambar yang sama.
Saya lihat harga-harga tidak wajar ditawarkan masyarakat awam di marketplace atau e-commerce. Perlu diingat, dijual atau ditawarkan bukan berarti 'terjual'. Kalau koleksi itu 'terjual' dengan harga fantastis tentu luar biasa.
Sayang, banyak masyarakat awam sering kali 'ngeyel' kalau diberi tahu. Mereka selalu berpedoman pada tulisan atau tayangan di internet. Hanya sedikit yang mengerti setelah diberi pemahaman.Â
Mereka yang 'ngeyel' sering kali di-'bully'. Bahkan yang lebih tragis, mereka memasang koleksi lalu menulis 'tawar aja dulu, kalau cocok angkut', 'harting angkut', atau 'berani berapa'.
Ada beberapa nasihat yang perlu diperhatikan masyarakat awam yang ingin menjual koleksi di marketplace. Pertama, cari harga yang paling rendah, jangan yang paling tinggi.Â
Kedua, perhatikan informasi pada koleksi yang dijual (misal kondisi XF, ada foxing/noda). Abaikan kalau ada kata-kata 'warisan kakek' atau 'koleksi bersejarah'.
![Ilustrasi uang 100 dengan beberapa tahun cetak (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/08/pinisi-03-60456afb8ede4854e9610d62.jpeg?t=o&v=770)
Ada juga uang pinisi dengan harga khusus, misalnya bernomor seri cantik 000001, 123456, atau 333333. Termasuk mahal, tentu saja uang pinisi yang sudah di-grading PMG. Â
Harga yang wajar memang hanya ribuan rupiah. Untuk gepokan atau per 100 lembar, lebih murah lagi, hanya Rp150.000-Rp200.000 per gepok. Uang pinisi masih banyak di pasaran karena dikeluarkan pada 1992. Setiap tahun pemerintah mengeluarkan emisi ini.
Sepengetahuan penulis uang pinisi 100 dikeluarkan pada 1992 hingga 2000, kecuali 1998. Jadi ada 8 variasi tahun. Variasi tahun ini menjadi sasaran numismatis. Â
Saat ini tempat bertanya cukup banyak. Maka bertanyalah ke numismatis karena banyak numismatis memiliki media sosial.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI