Rupanya kakek saya suka membaca. Beliau meninggal sekitar 50 tahun lalu, namun warisannya masih ada pada saya. Salah satunya buku Bhagawad Gita. Karena milik kakek, jelas buku lama. Tertulis pada buku itu Tjitakan Pertama 1935. Tentu yang dimaksud 'Tjetakan' atau dengan ejaan baru 'Cetakan'. Tapi itulah Bahasa Indonesia pada masa-masa awal, disebut Melayu Rendah sebagaimana tertulis pada lembaran buku.
Tertulis juga Typ. Drukkerij Moestika, Batavia. Moestika tentu nama percetakan. Sementara Batavia adalah nama lama Jakarta. Kondisi buku masih cukup bagus dengan jilid kawat di bagian pinggir. Sampul berupa hard cover.
Disebutkan dalam buku itu "Pelajaran kebudayaan yang paling tinggi, dan pokok dasar dari filosofi kebatinan Hindu yang paling termasyur", begitulah suntingan dari Bahasa Melayu Rendah.
Masalah peperangan dan percintaan sering diuraikan buku-buku lama. Bahkan sudah ditulis dalam kitab-kitab kuno dari masa berabad-abad silam. Mengapa terjadi peperangan dan bagaimana hasil peperangan, banyak diuraikan kitab-kitab epos/epik (kisah kepahlawanan) itu.
Di antara berbagai kitab purba yang sampai kepada kita, dua kitab yang sudah sangat dikenal luas di seluruh dunia adalah Ramayana dan Mahabharata(yudha). Kedua kitab itu berasal dari India, ditulis oleh pujangga termashur pada zamannya. Banyaknya sampai berjilid-jilid. Karena itu isinya pun mengenai berbagai hal, seperti filosofi kehidupan, nasihat, dan peristiwa sehari-hari.Â
Salah satu bagian dari Mahabharata yang dianggap masih memiliki relevansi dengan masa sekarang adalah kitab Bhagavad Gita (BG). Isi utama kitab itu adalah percakapan antara Arjuna (sebagai murid) dengan Kresna atau Sri Krishna (sebagai guru). Banyak pesan moral terkandung di dalamnya. Kedua tokoh sentral itu banyak menampilkan dialog yang menyentuh hati. Isinya pun penuh dengan hal-hal kebajikan dan keteladanan.
Dialog Arjuna -- Kresna itu berlangsung di medan perang Kuruksetra, sebelum terjadi perang besar antara dua keluarga, Pandawa dan Kurawa, untuk memerebutkan takhta kerajaan. Perang itu terjadi akibat ketidaksediaan pihak Kurawa untuk mengembalikan takhta kerajaan kepada pihak Pandawa.
Sebenarnya, sebagai sesepuh Kresna sudah mengusahakan perdamaian. Namun usahanya ditolak oleh pihak Kurawa. Pertempuran pun nyaris dimulai. Tapi Arjuna, salah seorang pahlawan Pandawa, malah menolak untuk bertempur dan berniat merelakan dirinya dibantai saja oleh kaum Kurawa tanpa perlawanan.
Arjuna merasa tidak bergairah untuk bertempur, mengingat pihak musuh terdiri atas para saudara, guru, sahabat, dan orang-orang yang dikasihinya. Seketika tanpa sadar, seluruh tubuh Arjuna kaku, mulutnya kelu, senjata terjatuh dari tangannya, kakinya bergetaran, dan pikirannya linglung.
"Barang siapa soedah terbebas dari kainginan mementingkan diri sendiri, hingga priboedinja tida kena dipengaroehin oleh sasoeatoe perboeatan jang ia lakoeken, maski ia memboenoeh itoe orang-orang, ia tida bisa dibilang melakoeken pemboenoehan dan ia tida aken teriket (oleh karma djelek)," demikian Kresna.
Arjuna merasa serba salah. Berperang berarti melukai atau membunuh keluarga sendiri. Bahkan sebaliknya, dilukai atau dibunuh keluarga sendiri. Kalau tidak berperang, berarti menghancurkan martabat sendiri.