Di Indonesia Arkeologi Publik mulai dikembangkan tahun 1980-an. Awalnya berupa berbagai acara di stasiun televisi (TVRI) dan pameran-pameran kepurbakalaan di seluruh Indonesia.
Ironisnya, upaya keras itu sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti pencemaran terhadap peninggalan-peninggalan purbakala terus terjadi.Â
Kemungkinan aktivitas negatif ini berlangsung terus-menerus karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan sebagainya, di samping belum adanya kesadaran dari segolongan masyarakat.
Persoalannya sekarang yang perlu dicari jalan keluarnya secara mendesak adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan masyarakat untuk melindungi tinggalan arkeologi. Mengingat kita sangat kekurangan tenaga arkeologi, tentulah hal demikian perlu diperhatikan sungguh-sungguh.
Di sinilah letak kesukaran melaksanakan Arkeologi Publik. Di satu sisi, pola pikir masyarakat masih bersifat konsumtif dan ekonomis.Â
Masyarakat lebih rela menjual bangunan-bangunan bersejarah kepada pihak investor yang kemudian mengubahnya menjadi bangunan komersial.
Di lain sisi, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk mendukung sepenuhnya Arkeologi Publik, seperti memberikan subsidi biaya perawatan atau pemugaran bangunan cagar budaya. Termasuk juga tidak mampu memberikan ganti untung yang sesuai untuk merelokasi masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan situs-situs arkeologi.
Begitu pun masyarakat di sekitar Trowulan. Mereka umumnya tahu kalau bata-bata merah yang tersisa di sana merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mereka tetap menggerusinya untuk dijadikan bahan baku pembuatan semen merah.Â
Persoalannya adalah masalah ekonomi dan kebutuhan perut: konsumtif dan ekonomis tadi. Hidup mereka sangat tergantung dari industri kecil itu karena mereka tidak memiliki kecakapan lain.
Sebenarnya bukan hanya rakyat kecil yang kerap melecehkan peninggalan arkeologi, pengusaha kakap pun sama saja.Â