Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memberdayakan Masyarakat untuk Melindungi Tinggalan Arkeologi

15 Februari 2021   09:00 Diperbarui: 15 Februari 2021   12:08 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua siswa sedang belajar cara merekonstruksi gerabah (Foto: bali.tribunnews.com)

Di Indonesia Arkeologi Publik mulai dikembangkan tahun 1980-an. Awalnya berupa berbagai acara di stasiun televisi (TVRI) dan pameran-pameran kepurbakalaan di seluruh Indonesia.

Ironisnya, upaya keras itu sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terbukti pencemaran terhadap peninggalan-peninggalan purbakala terus terjadi. 

Kemungkinan aktivitas negatif ini berlangsung terus-menerus karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan sebagainya, di samping belum adanya kesadaran dari segolongan masyarakat.

Persoalannya sekarang yang perlu dicari jalan keluarnya secara mendesak adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan masyarakat untuk melindungi tinggalan arkeologi. Mengingat kita sangat kekurangan tenaga arkeologi, tentulah hal demikian perlu diperhatikan sungguh-sungguh.

Di sinilah letak kesukaran melaksanakan Arkeologi Publik. Di satu sisi, pola pikir masyarakat masih bersifat konsumtif dan ekonomis. 

Masyarakat lebih rela menjual bangunan-bangunan bersejarah kepada pihak investor yang kemudian mengubahnya menjadi bangunan komersial.

Di lain sisi, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk mendukung sepenuhnya Arkeologi Publik, seperti memberikan subsidi biaya perawatan atau pemugaran bangunan cagar budaya. Termasuk juga tidak mampu memberikan ganti untung yang sesuai untuk merelokasi masyarakat yang bertempat tinggal di lingkungan situs-situs arkeologi.

Siswa SD belajar mencari fosil yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi DI Yogyakarta di Situs Patiayam (Foto: jateng.tribunnews.com)
Siswa SD belajar mencari fosil yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi DI Yogyakarta di Situs Patiayam (Foto: jateng.tribunnews.com)
Ditunjang ketidakmengertian, kemasabodohan, dan ketidakpedulian masyarakat, maka berbagai tindakan negatif sering terjadi. Penduduk setempat hampir selalu berdalih "supaya bisa makan". Akibatnya meskipun di suatu tempat ada situs, bila mereka ingin menanam, ya mereka akan tetap menanam. Ini bisa kita amati di perkebunan kentang di areal situs percandian Dieng.

Begitu pun masyarakat di sekitar Trowulan. Mereka umumnya tahu kalau bata-bata merah yang tersisa di sana merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mereka tetap menggerusinya untuk dijadikan bahan baku pembuatan semen merah. 

Persoalannya adalah masalah ekonomi dan kebutuhan perut: konsumtif dan ekonomis tadi. Hidup mereka sangat tergantung dari industri kecil itu karena mereka tidak memiliki kecakapan lain.

Sebenarnya bukan hanya rakyat kecil yang kerap melecehkan peninggalan arkeologi, pengusaha kakap pun sama saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun