Ketika mengunjungi Museum Nasional, saya melihat prasasti yang cukup unik. Namanya Prasasti Kawambang Mulwan. Prasasti itu terbuat dari batu. Ketika saya perhatikan, banyak bagian cacad terdapat pada prasasti itu. Aksaranya ada yang aus, ada pula yang rusak.
Saya coba telusuri lebih jauh prasasti tersebut. Kebetulan saya dapat buku Prasasti Batu Jilid 2 dari rekan di Museum Nasional. Buku tersebut berisi pembacaan ulang dan alih aksara dari prasasti-prasasti koleksi Museum Nasional. Di Museum Nasional sendiri terdapat banyak sekali prasasti batu, prasasti logam, dan salinan prasasti.
Prasasti-prasasti itu ada sejak zaman Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), yakni lembaga ilmiah bentukan pemerintah Hindia-Belanda. Lembaga itu kemudian mendirikan Museum van het BGKW, yang sekarang menjadi Museum Nasional.
Prasasti itu ditemukan di Desa Sendang Kamal, Magetan (Jawa Timur). Nomor inventaris prasasti itu D 37. Ini untuk memudahkan pencarian sekaligus nomor registrasi.
Bentuk prasasti segilima, agak melebar di bagian atas. Tinggi prasasti 182 cm, lebar 93-110 cm, dan tebal 32 cm. Melihat tingginya, jelas lebih tinggi daripada rata-rata orang Indonesia.
Tulisan dan bahasa pada prasasti berbahan batu andesit breksi itu Jawa Kuno. Dipahat secara berkeliling pada keempat sisi. Kita harus membacanya dari sisi muka dan berakhir dari sisi kiri. Jumlah tulisan 49 baris, namun banyak yang tidak terbaca lengkap karena kondisi batu aus/rapuh.
Dulu prasasti itu pernah dibaca oleh J.L.A. Brandes, namun hanya 12 baris bagian awal pada sisi depan (1913). Bagian unsur penanggalan dibaca oleh L. Ch. Damais (1955).
Diketahui Prasasti Kawambang Mulwan bertarikh 913 Saka. Kalau dikonversi ke tahun Masehi menjadi Rabu Legi 20 Januari 992. Biasanya beda tahun Masehi dengan tahun Saka 78 tahun. Namun karena dikeluarkan pada 13 paroterang bulan Magha, maka berselisih 79 tahun.
Prasasti itu antara lain berisi anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan Pu Burung berupa sima (tanah yang dicagarkan) di Desa Kawambang Kulwan. Itulah dasar kenapa prasasti diberi nama Kawambang Kulwan.
Sayang banyak bagian prasasti belum/tidak terbaca, sebagaimana terlihat pada tanda titik-titik (......) pada foto di bawah. Lebih luas, prasasti itu pernah diungkap dalam skripsi arkeologi UI oleh Edwinsyah pada 2003.
Prasasti merupakan sumber utama untuk penyusunan sejarah kuno Nusantara. Dalam arkeologi dikenal sebagai data primer dan artefak bertanggal mutlak. Â
Dulu untuk melakukan pembacaan, Â para epigraf--sebutan untuk pakar membaca prasasti--dilakukan dengan cara membuat cetakan prasasti. Namun dengan kemajuan teknologi digital, prasasti bisa difoto dengan resolusi tinggi. Lewat bantuan komputer dan proyektor, lalu foto disorotkan ke tembok atau layar.
Saat ini banyak aplikasi gratis bisa kita peroleh. Semoga ada aplikasi untuk memperjelas aksara. Atau bahkan sengaja dibuat aplikasi khusus untuk membaca prasasti, terlebih untuk yang aksaranya aus/rapuh/rusak. Kita harapkan ada anak bangsa yang mampu mendukung pembacaan prasasti dengan memanfaatkan teknologi digital.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H