Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Banyak Cerita dari Selembar Uang Kertas dan Sekeping Uang Logam

1 Januari 2021   11:48 Diperbarui: 1 Januari 2021   11:53 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uang-uang lama atau uang yang sudah ditarik dari peredaran oleh otoritas keuangan, dalam hal ini Bank Indonesia, selalu menjadi perbincangan. Terutama oleh masyarakat awam yang menganggap uang seperti itu disebut "uang kuno". Mereka sering memasang iklan di marketplace atau media sosial dengan harga tinggi, padahal kondisinya sudah lusuh, sobek, ada coretan, aus, dan kotor. Rupanya mereka hanya ikut-ikutan dari masyarakat sebelumnya yang memasang harga tinggi.

"Di internet ada yang jual harganya segitu," tulisnya di media sosial. Banyak yang ngeyel, banyak pula yang paham ketika diberi pengertian. Dijual atau ditawarkan berbeda jauh dengan terjual, itu kuncinya. Banyak numismatis atau kolektor uang yakin kalau koleksi yang ditawarkan itu tidak bakalan laku.

Memang banyak tulisan dan tayangan yang memberi gambaran bahwa koleksi "uang kuno" itu mahal. Rupanya tulisan dan tayangan tersebut hanya mengejar pageview, subscriber, atau monetisasi. Antara judul dan isi sering kali tidak bersesuaian. Ironisnya, masyarakat percaya kepada tulisan yang 'tidak waras' seperti itu karena mendapat rating tinggi. Sebaliknya tulisan 'waras' justru tidak digubris karena mendapat rating rendah.

Bukan hanya di numismatik, di bidang-bidang lain tulisan yang bersifat 'pembohongan publik' juga sering dipercaya. Meskipun demikian, kita beruntung karena masih lebih banyak masyarakat yang memiliki akal sehat. Kalau informasi hoaks seperti itu lebih dipercaya, entahlah bagaimana nasib negeri ini.

Buku katalog/kiri dan isi katalog/kanan (dokpri)
Buku katalog/kiri dan isi katalog/kanan (dokpri)
Album dan kaca pembesar

Kita kembali ke numismatik. Yang namanya hobi tentu saja bermanfaat. Bisa untuk menghilangkan stres, bisa pula untuk mengisi waktu senggang, dan lainnya. Tidak tertutup kemungkinan hobi mengumpulkan uang-uang lama akan menjadi tabungan tidak terduga. Bayangkan bila koleksi yang kita beli sekarang, akan menjadi berkali lipat setelah 10--20 tahun.

Sebagai hobi, tentu kita harus mempertimbangkan isi kantong kita. Tidak mungkin kita memiliki seluruh koleksi uang yang pernah beredar. Apalagi Nusantara kita memiliki periode sejarah panjang, seperti zaman kerajaan, zaman penjajahan, dan zaman kemerdekaan.  Jadi hobi bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Album uang kertas dan album uang logam (koin) wajib kita punya. Ini supaya koleksi tersusun rapi. Penyusunan koleksi bisa sesuai negara. Khusus koleksi dari negeri kita, bisa disusun secara kronologis. Kantong plastik bisa dipakai sebelum memasukkan koleksi ke dalam album. Untuk melihat detail, kita harus punya kaca pembesar.

Kolektor tradisional sering kali tidak memandang kondisi koleksi. Yang penting tidak jelek-jelek amat. Perlu diketahui, dalam koleksi uang ada berbagai tingkat kondisi, antara lain bagus sekali, bagus, cukup bagus, dan kurang bagus. Dalam istilah internasional lebih rinci, antara lain Uncirculated (Unc), Extra Fine (XF atau EF), Very Fine (VF), Fine (F), Good (G), dan Poor (P).

Di Indonesia kolektor atau numismatis memiliki berbagai kelas, tentu berdasarkan kemampuan finansial mereka. Dianalogikan dengan sekolah, ada numismatis tingkat TK, SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi, bahkan konglomerat. Numismatis kelas tinggi sering kali menyertifikatkan koleksinya atau istilah numismatis di-grading.

Saat ini lembaga grading koleksi uang ada di luar negeri. Ada biaya tertentu untuk 'menyekolahkan' koleksi ke luar negeri. Peng-grading-an menggunakan angka 1 hingga 70. Sering kali koleksi numismatis papan atas memiliki nilai 60 ke atas. Ini identik dengan Unc atau bagus sekali.

Buku referensi/kiri dan buku panduan/kanan (dokpri)
Buku referensi/kiri dan buku panduan/kanan (dokpri)
Buku 

Numismatis profesional hampir selalu memiliki buku katalogus, baik yang diterbitkan di Indonesia maupun di mancanegara. Biasanya katalog diterbitkan 2-3 tahun sekali. Katalog memuat informasi piktorial dan tekstual setiap koleksi. Juga harga untuk setiap grade atau tingkat kondisi. Makin tinggi grade, tentu makin mahal harga koleksi.

Bila ingin menekuni numismatis, tentu kita butuh buku panduan. Misalnya cara memegang koin yang benar, cara membersihkan kotoran, dan cara merawat koleksi. Selama ini buku panduan belum ada yang berbahasa Indonesia. Namun baca-baca saja di internet karena sejumlah kolektor sudah pernah menulis atau diwawancara wartawan.

Buku-buku referensi juga penting. Kita jangan hanya mengagumi koleksi yang kita punya, apalagi yang berkondisi bagus. Kita harus tahu narasi atau cerita di balik koleksi-koleksi itu. Misalnya uang itu ditandatangani oleh A.K. Gani.  Nah, cari tahu siapa A.K. Gani. Pokoknya banyak cerita dari selembar uang kertas dan sekeping uang logam.***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun