Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kisah Kue Onde dan Tokoh Wanita Tionghoa Pendiri Yayasan Hati Suci

21 Desember 2020   08:50 Diperbarui: 21 Desember 2020   09:05 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kue onde yang memiliki beragam filosofi kehidupan (Dokpri)

Setiap 22 Desember masyarakat Tionghoa secara tradisi merayakan festival kue onde atau Dongzhi (Tang-cheh). Kata ini bermakna musim dingin yang ekstrem.

Kue onde berbentuk bulat kecil berbahan tepung ketan, disajikan bersama air gula bercampur jahe. Ukuran onde bermacam-macam. Ada yang sebesar kelereng, ada pula sebesar bola pingpong. Di Tiongkok kue onde disebut Tangyuan, kue bola ketan. Karena tahun ini merupakan tahun kabisat, maka perayaan kue onde berlangsung pada 21 Desember.

Banyak filosofi tergambar dari onde. Di Tiongkok inilah saatnya berkumpul bersama keluarga di musim dingin. Lewat air jahe, badan akan terasa hangat. Bulat menyimbolkan kebersamaan, apalagi ketan bersifat lengket. Hubungan yang manis disimbolkan oleh rasa air gula.  

Demikian yang tergambar dari webinar Bincang Budaya bertajuk Asal-usul Sejarah Tang Cheh dengan pembicara Bapak Udaya Halim pada 20 Desember 2020 malam. Pak Udaya adalah tokoh peranakan Tionghoa yang juga pemilik Museum Benteng Heritage di Tangerang.

Ilustrasi pembuatan kue onde (Foto: makalah Pak Udaya)
Ilustrasi pembuatan kue onde (Foto: makalah Pak Udaya)
Akulturasi

Ada kepercayaan, makan onde sesuai umur kita ditambah 1. Kalau berumur belasan tahun mungkin tidak menjadi masalah.  Nah bagaimana kalau berumur 63 tahun, misalnya. Menurut Pak Udaya, dalam hal ini bisa disimbolkan dengan onde berukuran besar dan kecil. Jadi cukup 6 onde besar dan 3 onde kecil.

Keluarga Tionghoa juga mengenal larangan membuat onde bagi mereka yang sedang berkabung. Soalnya sifat bulat, lengket, panjang, dan berantai dianggap bisa membawa petaka yang menyeret kedukaan.

Kalau kita perhatikan onde memiliki beragam warna, seperti putih, merah, dan hijau. Kehidupan penuh aneka warna, begitulah maknanya. Putih yang dianggap yin menjadi simbol kesucian dan ketulusan hati. Merah sebagai simbol yang melambangkan kebahagiaan.

Sejak lama onde sudah berakulturasi, terutama dengan kebudayaan Jawa. Yang paling populer, onde dalam sajian kuliner ringan yang disebut sekoteng. Dalam sekoteng, onde selalu menjadi bahan utama.

Sekoteng berasal dari kata si-ko-tang atau empat macam campuran dalam sup manis. Di Jakarta sekoteng amat populer, biasanya dijajakan secara berkeliling pada malam hari, yang tentu saja identik dengan 'musim dingin'. Di luar Jakarta, dikenal istilah ronde, yang mengacu pada kue onde itu.

Kemungkinan besar, Tangyuan sudah menjadi makanan ringan yang populer di Tiongkok sejak Dinasti Sung. Pada era Yongle dari Dinasti Ming, nama resmi dari makanan itu adalah Yuanxiao (berasal dari Festival Yuanxiao), yang digunakan di Tiongkok utara.  Di Tiongkok selatan makanan itu disebut tangyuan atau tangtuan, berarti bola bundar dalam sup.

Auw dan suami (Foto: makalah Pak Udaya)
Auw dan suami (Foto: makalah Pak Udaya)
Tokoh wanita

Pada kesempatan itu, tentu saja menyambut Hari Ibu 22 Desember, Pak Udaya ikut memaparkan tokoh wanita Tionghoa bernama Auw Tjoei Lan yang bersuamikan Lie Tjian Tjoen (1889-1965). Ia seorang pejuang kemanusiaan yang memerangi perdagangan wanita dan hak anak-anak terlantar di Batavia. Ayah Auw Tjoe Lan bernama Auw Seng Ho, seorang kapitan Tionghoa yang kaya raya dan  dermawan.

Auw lahir Majalengka. Di Batavia ia melihat maraknya perdagangan wanita yang menjadi korban keganasan perang. Tanpa takut ia mendatangi tempat para budak wanita disekap. Pada 1910-an Auw Tjoei Lan mendirikan yayasan sosial Po Liang Kok. Pada 30 November 1914 berdiri Roemah Piatoe Ati Soetji.

Karena dianggap berjasa, Auw mendapat penghargaan dari pemerintah Hindia-Belanda. Selanjutnya pada 1937 beliau mendapat kehormatan untuk berbicara di depan Liga Bangsa-bangsa.

Pada 1955, nama Roemah Piatoe Ati Soetji berubah menjadi Panti Asuhan Hati Suci, kemudian berkembang menjadi Yayasan Hati Suci. Institusi sosial ini memiliki panti asuhan dan lembaga  pendidikan dari TK sampai SMA. Yayasan Hati Suci masih eksis sampai kini dengan kantor pusatnya di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun