Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebahagiaan Itu Sederhana Asalkan Bisa Berbagi Ilmu Pengetahuan dan Buku

27 November 2020   19:23 Diperbarui: 27 November 2020   19:26 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kirim buku lewat JNE di dekat rumah (Dokpri)

Kemarin siang saya mengirim dua paket buku ke Jawa Timur. Saya pikir akan bebas ongkos kirim. Maklum secara samar saya mendengar JNE memberlakukan bebas ongkos kirim pada 26 dan 27 November 2020. Rupanya bebas ongkos kirim hanya berlaku untuk kawasan Jabodetabek. Tentu saja untuk masyarakat yang tinggal di kawasan Jabodetabek juga.

Tapi tak mengapa meskipun harus bayar. Buku-buku tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada juga buku-buku terbitan Perpustakaan Nasional. Sebenarnya buku-buku tersebut bisa diperoleh secara gratis oleh masyarakat, asalkan kita mendatangi kantor masing-masing. Perlu diketahui, buku-buku yang dicetak dengan dana APBN dan APBD tidak boleh diperjualbelikan. Bayangkan bila masyarakat dari luar kota sengaja datang ke Jakarta. Tentu memerlukan banyak biaya.

Kebetulan kemarin lusa 25 November 2020 diperingati sebagai Hari Guru. Maka untuk memberi kebahagiaan kepada dua orang guru yang sudah beberapa tahun berkawan dengan saya di Facebook, saya menghadiahkan mereka masing-masing lima buku. Kedua guru itu aktif di bidang sejarah dan kepurbakalaan. Mereka senang blusukan dan menulis.

Kirim buku lewat JNE di dekat rumah (Dokpri)
Kirim buku lewat JNE di dekat rumah (Dokpri)
Dunia literasi

Sebagai lulusan arkeologi, saya sangat tergerak kepada dunia literasi. Jarang sekali, bahkan tidak ada, arkeolog yang mau menekuni dunia yang 'tidak menentu' itu. Entah mengapa seakan mereka tidak peduli akan gerakan literasi. Padahal, yang namanya arkeologi, selalu bersinggungan dengan masyarakat.

Saya sendiri tidak berkecimpung di dunia arkeologi. Saya hanyalah pekerja serabutan. Kadang dapat uang, kadang tidak dapat uang. Tentu berbeda dengan arkeolog yang PNS atau ASN. Mereka dapat gaji. Sebagian dapat uang pensiun. Meskipun penghasilan tidak menentu, saya selalu menyisihkan dana untuk gerakan literasi.

Masyarakat harus dilibatkan dalam arkeologi. Itulah dasar pemikiran saya mengapa saya rela berkorban dalam gerakan literasi. Masyarakat harus tercerdaskan di bidang kepurbakalaan. Sebagai gambaran, banyak benda arkeologi semula ditemukan oleh masyarakat secara tidak disengaja. Baru kemudian dilakukan penggalian secara ilmiah oleh para arkeolog. Banyak benda arkeologi dicuri lalu dijual kepada para penadah. Perlu diketahui, banyak benda arkeologi terletak di areal terbuka seperti persawahan, perkebunan, dan perbukitan.

Menghadapi hal ini tentu saja pihak arkeologi tidak akan mampu. Satu-satunya jalan yah melibatkan masyarakat agar mau peduli terhadap tinggalan masa lalu. Apalagi sejak lama dikenal subdisiplin Arkeologi Publik. Dengan demikian arkeologi memerlukan partisipasi masyarakat.

Buku telah terbukti menjadi jembatan yang baik antara masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi saya mempunyai blog arkeologi di https://hurahura.wordpress.com. Blog arkeologi itu saya buat sejak 2008. Dalam blog arkeologi itu saya sertakan kolom kontak yang terhubung ke pos-el saya. Jika ada, saya langsung kirimkan ke instansi terkait. Kebetulan saya banyak kenal dengan mereka.

Pikiran saya cukup sederhana. Saya hanya menanam benih. Masyarakatlah, terutama kalangan arkeologi, yang akan memetik hasilnya di kemudian hari. Jadi buat saya berbagi buku itu indah. Ibarat lagu 'hanya memberi, tak harap kembali'. Menyantuni masyarakat peduli kepurbakalaan lewat gerakan literasi merupakan kebahagiaan buat saya, meskipun saya harus merogoh kocek pribadi. Buat saya bahagia itu kalau bisa membahagiakan orang banyak. Kebetulan lokasi JNE paling dekat dengan rumah saya. Jadi saya selalu menggunakan jasa JNE lewat OKE, karena ongkos kirimnya  lebih murah dibandingkan YES dan REG. Sudah ada ratusan bukti pengiriman JNE, dari yang berbentuk besar hingga kecil.

Beberapa blog yang saya miliki termasuk Kompasiana (Dokpri)
Beberapa blog yang saya miliki termasuk Kompasiana (Dokpri)
Bahagia itu sederhana

Selain kepada guru, saya beberapa kali menghadiahkan buku-buku kepada para mahasiswa arkeologi dan nonarkeologi yang memiliki IPK terbaik, yakni di atas 3,5. Tentu saja saya seleksi karena buku-bukunya terbatas. Saya minta mereka menyerahkan bukti tertulis. Itulah kebahagiaan lain. Bahagia itu sederhana, bukan? Bahagia kalau mampu berbagi.

Kalau membuat blog saya lakukan sejak 2008, gerakan literasi baru ada tiga tahun kemudian. Waktu itu saya sering mendapat buku dari sana-sini. Buku-buku yang dobel lalu saya tawarkan kepada komunitas sejarah dan budaya yang berminat.

Mulai 2015 saya membuat gerakan baru yang disebut KUBU (Kuis Buku), GEMAR (Gerakan Menulis Arkeologi), dan GEMES (Gerakan Menulis Sejarah).  Namun dalam perjalanannya GEMES boleh dibilang tidak ada peminat sehingga saya hapus.

"Saya senang dapat buku dari Pak Djulianto karena buku-bukunya tidak dijual di toko buku. Apalagi buku-bukunya limited edition," kata mereka.

Beramal buku tentu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Terus terang, saya cukup mudah mendapatkan buku-buku dari Kemendikbud. Semua dana untuk transportasi mengambil buku dan ongkos kirim buku keluar dari kantong pribadi. Sebagian saya peroleh dari kawan-kawan yang peduli.

Sayang keberlangsungan KUBU dan GEMAR terdampak wabah pandemi. Sejak Maret saya jarang sekali membuat KUBU dan GEMAR. Maklum, sebagai pekerja lepas boleh dibilang saya tidak mempunyai penghasilan lagi.

Pemberitahuan dari penerima buku (Dokpri)
Pemberitahuan dari penerima buku (Dokpri)
Amal ilmu pengetahuan

Kalau tidak ada uang, beramallah dalam bentuk lain. Begitulah sering dikatakan banyak orang. Maka menulislah yang saya lakukan, meskipun tidak berhonorarium. Amal ilmu pengetahuan, mungkin bisa disebut demikian.

Jika saja banyak orang, terutama kalangan intelektual, beramal buku dan beramal ilmu pengetahuan, bisa jadi kita sudah memiliki masyarakat yang peduli dan berapresiasi kepada kepurbakalaan dan museum.

Dalam melakukan gerakan literasi saya sering diguyoni banyak orang. Harusnya saya mendapat award sebagai "Arkeolog Peduli Masyarakat" karena merupakan orang yang tidak bergaji dan berpensiunan dari instansi arkeologi, juga bekerja bukan karena proyek atau penunjukan, tapi peduli pada masyarakat.

Bahkan pensiunan Guru Besar Arkeologi UI Pak Mundardjito menjuluki saya "Arkeolog dengan Takdir Sial" karena telah membumikan arkeologi dan museum sejak 1980-an. "Gak ada arkeolog yang kayak kamu," katanya. Sebenarnya kunci untuk berbagi cuma dua, yakni mampu dan mau.   

Saya sendiri tidak peduli award dan sejenisnya. Saya hanya melakukan sesuatu yang saya anggap mencerdaskan dan bermanfaat buat orang banyak, terutama generasi muda. Saya harapkan segera muncul arkeolog yang peduli literasi demi bersaing dengan saya. Itulah kebahagiaan yang utama, berarti sudah ada regenerasi.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun